13 | (Not So) Sweet Date

Mulai dari awal
                                    

Mata indah Thalia membesar. "Jadi beneran lo catet? Astaga ..." cewek itu berdecak, tapi kemudian tersenyum lembut ke gue. Ya Tuhan, Thalia nggak tahu ya, senyuman dia itu bisa bikin kaki gue serasa kayak jelly? Bisa-bisa bianglala justru jadi wahana yang bikin gue lemes, padahal kami sudah menjajal roller coaster dan hysteria sebelumnya.

Kami berjalan semakin maju di antrean, sampai akhirnya giliran kami memasuki salah satu kapsul. Gue menoleh ke petugas yang menjaga. "Bisa berdua aja, kan?"

Mas-mas itu tersenyum jahil, sepertinya sudah paham bagaimana anak muda mengusahakan naik kapsul berdua saja dari pada bersama pengunjung lain yang berpotensi menghancurkan momen romantis yang sudah direncanakan.

"Iya, Mas. Naik udah," ucapnya kemudian yang gue balas dengan tawa dan sebuah acungan jempol.

Matahari yang merendah sejak sejam yang lalu, sekarang beneran udah malu-malu. Hari ini sangat berawan, tapi gue justru kagum karena awan-awan itu memantulkan cahaya jingga sore ini. Langit bagaikan dipenuhi gulali putih yang disiram saus rasa jeruk. Gue menoleh ke Thalia, kelihatannya dia juga sedang mengagumi hamparan langit Jakarta.

"Thal," gadis itu memindahkan fokusnya ke gue. "Lo masih penasaran nggak sama awan? Jangan-jangan emang awan itu tebel dan kita bisa lompat-lompatan di atasnya kayak trampolin."

Omongan gue barusan memantik tawa yang merdu dari mulut Thalia. Dia menggelengkan kepala lalu berkata, "sayangnya, sains dan pengalaman gue sendiri udah jadi buktinya, Vin. Waktu itu gue baru bisa baca dan yang pertama kali gue cari adalah ensiklopedia tentang awan. Gue kecewa parah pas tahu awan itu cuma uap air yang ngumpul. Nggak jauh beda sama kabut. Setelah itu, saat naik pesawat, gue akhirnya mikir, bener juga ya, kalau awan itu nggak bisa ditembus, jadi pilot susah banget dong, harus belok sana belok sini, ngehindarin awan? Belum lagi kalau ada awan besar, gelap, penyebab badai. Ya udah deh, gue menerima kenyataan kalau imajinasi gue yang itu nggak akan pernah bisa jadi nyata. Meskipun sebenernya, seru juga sih, untuk hidup dalam ketidaktahuan. Gue bisa aja masih punya angan-angan untuk main trampolin di langit sampai sekarang." Thalia menyudahi kisahnya dengan sebuah cengiran lebar.

Ah, hidup dalam ketidaktahuan, ya? Andaikan gue nggak tahu sama sekali tentang Marissa Gunardi sejak awal, mungkin kita udah bareng dari dulu, Thal. Nggak perlu ada praduga dan episode cewek kayak lo ngejar-ngejar gue. Tetapi sekarang gue udah tahu kebenaran yang sesungguhnya, mungkin gue bisa memperbaiki itu.

"Lo masih inget cerita gue tentang awan, ya? Astaga, padahal dulu gue cerita itu sambil lalu, kalau nggak salah awal kelas sepuluh pas kita dapet tugas kesenian ngelukis sesuatu dan gue mau ngelukis pemandangan langit." Thalia mengangkat kedua alisnya.

Gue menggaruk tengkuk yang nggak beneran gatal. "Gue mungkin bukan temen ngobrol yang asik dulu ... tapi gue selalu dengerin lo, kok."

Thalia menunjukkan senyuman killer-nya lagi. Hati gue berdesir kayak bara api yang disiram air dingin.

"By the way, gue beneran liat usaha lo. Makasih ya, Vin. Tapi, lo nggak perlu nyatet kesukaan gue sampai segitunya, ah. Nih, ya, gue kasih tahu. Kadang, apa yang dikasih ke gue nggak begitu penting, tapi siapa yang ngasih lebih penting."

"Maksud ... lo?"

"Maksud gue, a special person can give a lame gift and I'd still considered it special."

Gue berdeham, menyadari ada yang tersirat dari ucapan Thalia. "Maksud lo, gue orang yang spesial, jadi nggak usah ngeluarin effort banyak-banyak, lo udah pasti bakal suka sama apa yang gue kasih?"

Thalia terlihat gelagapan. Ia memalingkan wajah ke sembarang arah selain wajah gue. Gue terbahak karenanya.

"Ngeselin," dengus Thalia kesal bersamaan dengan warna merah mulai menghiasi pipinya. Gue mengamati bahwa cewek di hadapan gue ini jelas banget kalau lagi flushing. Damn, she's even cuter this way.

Andaikan Saja KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang