65. Oryziel, Azran, dan Visi Masa Depan

1K 242 25
                                    

Seseorang yang menyentuhku. Membelai lembut wajahku.

Aku bisa merasakan ujung jari jemarinya yang hangat. Sangat lembut, hati-hati, dan perlahan seperti elusan Ibu ketika menghiburku di kala bermimpi buruk di masa lalu. Sedikit bagian dari diriku terusik oleh sentuhan ini. Seakan ada yang menarikku ke suatu tempat jauh di luar kegelapan ini.

Sayang, walaupun aku bilang begitu, rasa kantuk ini susah sekali menyingkir.

Sisi di dalam diriku yang lebih ingin tidur jauh lebih kuat. Meski hanya untuk satu menit lagi.

Beruntungnya—meski aku tidak tahu apa aku harus menganggap ini keberuntungan atau bukan—elusan yang tidak henti dan terus menarikku dengan lembut ke sisi lain kesadaran serta sandaran kepala yang terasa keras sekali seperti batang kayu ini seakan menuntutku untuk segera bangun.

Segera setelah rasa tidak nyaman itu terasa di kepalaku, sekujur utbuhku langsung ikut merasa tidak nyaman. Elusan itu tidak lagi terasa lembut, kepalaku mulai terasa pening, dan sekujur tubuhku sakit. Terakhir kali aku merasakan sensasi seperti ini di kala terpejam adalah saat aku masih berada di bawah naungan Serikat. Tapi dipan dalam Serikat yang berjubel berbau ratusan tubuh yang terbiasa tenggelam dalam keringat dan air seni sendiri tidak pernah terasa sekeras ini.

Menyerah, aku mencoba membuka mata dan mendapati diriku memang tidur di tanah, aspal keras lebih tepatnya. Telapak tanganku merasakan kasarnya butiran tanah dan pasir di permukaan kulitku. Warna-warna gelap yang tampil di depan mata membuatku mengira mataku masih tidak bisa melihat dengan baik, tapi langit yang hitam pekat saat aku sadar membuatku akhirnya paham, bukan mataku yang salah, melainkan suasana di sekitarku memang sudah beranjak gelap.

Benakku seketika dipenuhi berbagai macam pertanyaan. Selagi mencoba mengumpulkan kesadaran yang masih belum utuh, aku memeriksa lingkungan sekitar lebih teliti dulu, mengesampingkan semua pertanyaan yang saling berebut meminta jawaban itu.

Kaki kanan, tangan kanan, kaki kiri, tangan kiri, semuanya utuh. Tenagaku juga sudah kembali, tidak selemah tadi. Tubuhku hanya sedikit kaku akibat semua alas tidur dan penyangga kepala yang menyakitkan ini.

Elusan itu sekali lagi terasa dan saat itu juga, aku bertemu pandang dengan pemuda pemilik sepasang mata berwarna emas mirip mata serigala yang menatapku dengan sorot mata yang anehnya—cemas—Ketulusan dalam tatapan matanya mengejutkanku. Bukan hanya karena sedikit banyak, sorot mata semacam itu tidak cocok dengan matanya yang seperti binatang, tapi juga karena ketulusan yang tampak di sana. Air mata seolah hendak jatuh dari wajahnya yang sangat ketakutan.

Itu ekspresi yang sempurna jika dia memang ingin berakting dengan wajah itu.

Hanya jika itu memang akting.

Ah, apa yang aku katakan? Apa aku benar-benar sudah percaya pada perompak satu ini? Jatuh ... ke perangkapnya yang lain? Perangkap yang aku tahu tidak akan pernah melepaskanku?

"Apa ada yang sakit?" Suara Azran, suara yang lembut itu, mengalun masuk ke telingaku perlahan-lahan, kata per kata, menggelitik sesuatu di dalam perutku.

Selama beberapa saat, aku hanya menatapnya, mengamati dan mengukir setiap detail wajahnya yang kini kembali berwarna di dalam kepalaku. Sesuatu di dalam diriku merasa lega melihat gelombang sihir masih mengalir dari sekitar tubuhnya, tak hilang permanen. Mulutku membuka lagi, memberi jawaban lebih jauh, ketika tiba-tiba saja sadar posisi ini sangat aneh.

Penyihir itu ada di atas, posisi kepalanya melintang di depan mataku. Dia menjulang, sementara aku menatapnya dari bawah. Kami terpaut dalam jarak yang terlalu dekat. Aku buru-buru bangun dan benar saja dan langsung menyesal karena kepalaku langsung berdenyut sakit karena tindakan dadakan ini.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang