16. Insiden

1.1K 313 71
                                    

"Gillian?" Will menoleh, wajah gelapnya tampak mengilap di bawah temaram bohlam gas argon yang menerangi lorong. "Kenapa dengan dia?"

Aku mengangkat kedua bahu dengan canggung, mengabaikan rasa nyeri yang terkadang muncul karena sihir yang masih tersisa di dalam kapal. "Entahlah ... dia memanggil Kapten dengan sangat ... akrab, menurutku."

Pemuda di depanku terkekeh dan kembali menatap ke depan. "Itu karena dia Quartermaster di sini."

Keningku berkerut-kerut. "Quartermaster?"

"Wakil kapten," jelasnya selagi kami berbelok ke salah satu lorong. Sengatan yang menyerang mataku meningkat perlahan-lahan seiring langkah kami yang semakin dalam. Jika aku tidak salah duga, kami kemungkinan melangkah mendekati ruang mesin. "Kau tidak tahu jabatan-jabatan di sini? Astaga, sudah berapa lama kau di Tortuga?"

Aku mendesah. "Tiga tahun." Dan Will sukses terheran-heran. Sekali lagi aku mengangkat bahu, tidak mau terlihat bersalah. "Aku bukan orang yang suka ikut campur, terutama dengan perompak."

"Kau terdengar seperti pengecut, Greenie." Andaikan saja melempar ember ini dan membuang air kotor isinya ke atas kepala pemuda ini bukan masalah, akan kulakukan dengan senang hati detik ini juga. "Hei, jangan tersinggung. Bersikap pengecut itu tidak salah, jika itu bisa menyelamatkan nyawamu, kenapa tidak? Bukankah selama ini kita semua seperti itu, Greenie?"

Sekarang aku jengah. "Dari tadi kau terus memanggilku seperti itu."

"Memanggilmu apa?"

"Greenie," terangku. "Apa artinya itu?"

Bibir Will menyunggingkan senyum lebar. "Artinya kau anak baru. Masih hijau." Kami berjalan terus melewati lorong yang sudah bersih. Sepertinya para awak lain sudah melakukan tugas masing-masing. Itu bagus. Kami jadi tidak perlu membersihkan lorong-lorong lagi dan bisa segera bersantai. "Ngomong-ngomong, soal jabatan di sini, ada Kapten, Quartermaster kita yang cerewet, lalu Gunner—juru meriam—seperti Bard, lalu ada Swain sepertiku dan Tuan Hoggs, dan awak biasa sepertimu. Oh, dan kami juga punya dokter, walaupun aku mulai mempertanyakan titel itu."

Aku tidak menyangka ada dokter di atas kapal. Tapi kalimat terakhir Will membuat kecemasan bergolak gelisah di dalam dadaku. "Kenapa?"

Will memberiku senyuman misterius. "Kau akan tahu sendiri." Dengan jawaban menggantung seperti itu, kami mendekati lorong yang paling ujung dan berbelok. Rasa sakit di mataku semakin parah, peluh yang mengalir dari tubuhku menetes semakin banyak. Di depan lorong yang kami tuju, Will baru saja bicara satu huruf ketika mulutnya mendadak membeku.

Ringisan keluar dari mulutnya. Bukan tipe ringisan suram, takut, atau ringisan bernada mengerikan lainnya, melainkan lebih seperti ringisan canggung pegawai toko roti yang baru saja tertangkap basah mencuri sepotong scone—roti panggang khas Inggris—Penasaran, aku mengintip dari balik tubuh Will yang lebih tinggi satu kepala dariku.

Jelas sekali ada sesuatu yang tidak benar.

Seharusnya Will tidak berhenti mendadak di lorong itu. Seharusnya lorong itu sama seperti belasan lorong lainnya di kapal ini yang kosong dan hanya diterangi oleh lampu-lampu bohlam gas argon yang menyala temaram dalam cahaya jingga. Seharusnya memang begitu.

Seharusnya juga tidak ada sepasang insan yang tengah asyik bercumbu di tengah lorong.

Wanita itu, Jocelinne, berdiri di sana. Tubuhnya merapat ke tembok, didesak oleh tubuh kokoh kapten Xerlindar yang menciumi leher wanita itu dengan rakus. Tangan wanita itu menggenggam erat lengan lengan kemeja putih Kapten, setengah menariknya tanpa sadar, melepaskan sedikit kemeja itu dari pundak kapten Xerlindar sementara sang kapten melingkarkan lengannya dengan posesif ke pinggang Jocelinne. Mata dua insan itu terpejam seakan sedang menikmati setiap saat yang terus berdetik. Mataku turun, melihat seluruh kancing di pakaian Kapten telah terlepas, menampilkan tubuh sewarna tembaga dengan noda-noda hitam di permukaannya.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang