29. Sihir Waktu

1K 295 40
                                    

Kepalaku pening luar biasa.

Otakku tidak bisa berpikir dengan baik. Rasa manis ini meracuni setiap bagian di dalam kepalaku, membuatku tidak lagi bisa berpikir jernih. Kegelapan di sekitarku berputar-putar cepat dibalut cahaya jingga samar, tampak luntur seperti lukisan-lukisan mahal yang pernah dijual Louis di toko. Sengatan manisnya sangat menyiksa, menguras tenaga dari tubuhku, dan melelehkan seluruh tulang belulangku.

Tapi aku tahu ini harus berakhir.

Seolah tahu aku akan menarik diri, Azran menggunakan tangannya yang masih bebas, menyelipkannya ke belakang leherku, mencegahku menjauh darinya. Napasku tersengal dan pria di bawahku berubah tidak terkendali. Ia seperti hewan buas yang baru saja terlepas dari belenggu yang selama ini mengikatnya. Dan sialnya, akulah langit biru yang selama ini sulit ia raih dalam keterbatasan. Sehingga ketika rantai-rantai yang mengurungnya mengendur, ia menggapai sekuat tenaga, menjangkau dengan segenap tekad ke arah langit biru yang tak tergapai, berusaha menggenggamnya dalam kepalan tangan dan tidak melepaskannya sekali lagi.

Sekalipun itu artinya ia harus mempertahankannya mati-matian dan berubah menjadi monster liar tak terkendali.

"Al...." Aku mendengar suara lirih dari bibirnya yang memanggil namaku, terdengar seperti memohon agar aku tidak melepaskan diri. "Alto...."

Nada lembut itu seolah memanggilku. Memohon pada diirku dengan segla kerendahan hati. Belum pernah ada yang memanggilku dengan nada seperti itu. TIdak ada penyihir yang mau memanggil namaku dengan cara seperti itu.

Perlahan Azran terasa berbeda. Manis yang tadi menelusup masuk, perlahan menghangat. Seperti madu yang dipanaskan, baranya membakar seluruh nadiku dengan panas internal yang tidak kukenal. Yang terasa memabukkan. Ia ada di bawahku, tapi aku merasa ialah yang mengendalikanku saat ini. Ia mengajakku berdansa di atas telapak tangannya dan aku menyetujuinya dengan kepolosan anak kecil.

Anak Manusia yang bodoh.

Seketika, aku berusaha menjernihkan pikiran di tengah semua gejolak yang ada. Sebelum kehangatan dan rasa manis ini menelanku bulat-bulat.

Membuka mata, lenganku yang masih ada di kedua sisi kepalanya menyentak keras. Rasa sakit dari luka di tangan membuat tubuhku sedikit tegang, tapi aku terus mencoba. Azran lengah dan langsung kumanfaatkan kesempatan yang terbuka untuk menyudahi semua ini.

Setelah lepas darinya, aku berusaha mengatur napas yang memburu, detak jantung yang kacau, dan tubuh yang gemetar hebat kehilangan tenaga. Di bawahku, Azran juga terengah, namun matanya masih diselimuti kabut, dalam diam berharap ini belum berakhir.

Aku sungguh tersanjung dia menciumku dengan mengetahui bahwa aku perempuan dan aku lega dia tidak bertindak kasar seperti yang kulihat dilakukannya pada Jocelinne, tapi ini bukan saatnya rayu merayu seperti di opera.

"Gillian. Kapal." Aku bersuara setegas yang kubisa saat ini.

Kening Azran berkerut-kerut. Wajahnya yang tadi diliputi kelegaan, langsung berubah kesal. "Kau benar," geramnya. Dengan kedua siku sebagai tumpuan, dia duduk, menatap gorong-gorong yang bersinar redup dalam cahaya temaram. "Gillian mungkin sudah pergi."

Aku tercengang. "Apa maksudmu?"

Azran menoleh padaku. Wajahnya tetap tenang. "Aku membuat kesepakatan dengan Gill, jika aku tidak kembali dalam waktu yang dirasanya cukup lama, dia akan pergi meninggalkanku," jelasnya ringan, seakan ditinggalkan oleh awaknya sendiri sudah menjadi hal biasa. "Tanganmu terluka."

Aku terkesiap, melihat pandangan Azran yang entah sejak kapan sudah tertuju ke bawah. Melihat ke arah yang sama, darah sudah menggenang di bawah telapak tanganku. Tanpa bertanya dan tanpa meminta izin, Azran langsung menggenggam pergelangan tanganku dan menariknya. Matanya mengawasi luka yang masih belum dibalut itu. Kedua alis matanya bertemu dan sorot yang memancar dari sepasang manik emas itu berubah tajam.

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang