60. Serangan di Atas Kapal

843 226 44
                                    

[Warning: Adegan ranjang!]

Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menyusul Azran karena dia berjalan dengan normal sekeluarnya dari lorong di dekat bagasi kapal, berbeda dari ketika pergi meninggalkan kami tadi.

Tepat sedetik setelah aku berhasil mengekorinya dan berada lima langkah di belakangnya, Azran berhenti dan menoleh padaku. Dia tidak repot-repot menutupi kejengkelannya. "Apa yang kau lakukan di sini?"

"Memastikan kau tidak mendadak kabur."

"Kau punya hal yang lebih penting untuk dipastikan, kurasa," sahutnya sinis. "Bagaimana kalau kau memastikan agar tidak ada penyihir yang kebetulan akan menghampiri teman-temanmu? Aku rasa pemeriksaan tiket akan dilakukan sebentar lagi."

Aku menatap lorong di depan sana yang penuh dengan para penyihir yang hilir mudik. "Maka seharusnya di sana juga ada pemeriksaan terhadap penumpang," sahutku dengan berani. "Kau melangkah tepat ke dalam bahaya. Bisa saja kau menjadikan alasan ditangkap sebagai dalih agar kau bisa kabur."

"Kalau menyangkut soal keselamatan teman-temanmu, kau pandai sekali bicara." Azran berbalik dan menatapku jengkel selama beberapa lama sebelum kemudian dia lanjut berjalan.

Suara keramaian mulai terdengar meski kami masih berada di lorong yang sepi dari penyihir dan masih beberapa langkah lagi sebelum sampai ke tengah keramaian. Mataku berair seperti akan menangis, tapi aku yakin cairan apapun yang menumpuk di pelupuk mata ini bukanlah air mata. Kuhapus cairan itu dan membuktikan kebenaran kata-kataku tadi.

Mataku berdarah lagi.

Kutatap dinding yang dialiri banyak sekali energi sihir murni. Sepertinya kami sedang melintasi ruang mesin. Mungkin sebaiknya aku mengekorinya lebih lama, sekadar untuk mengawasinya lebih jauh. Sayangnya, meninggalkan Edward dan Suri tidak ada dalam agendaku hari ini.

Aku memutuskan untuk berhenti mengikuti Azran. Biar bagaimanapun, dia penyihir, pasti bisa melindungi dirinya sendiri. Dua temanku adalah urusan lain.

"Berjanjilah!" Aku berseru, terdengar lantang di tengah lorong yang sepi, hanya diselingi bunyi mesin dan deru baling-baling yang mulai berputar di luar.

Langkah penyihir yang saat ini berwujud wanita itu berhenti. Asap perwujudan sihir hitam yang menyelimuti tubuhnya kelihatan semakin banyak saat dia berbalik menatapku, menunjukkan gejolak emosinya yang meningkat.

"Apa?" sahutnya setengah membentak. "Apa mendengarku bersumpah satu hal padamu tidak cukup?"

Dia mengira aku akan memanfaatkannya. Bukan pemikiran yang buruk, andaikan aku memang sepicik itu. "Berjanjilah kau tidak akan menghentikanku di kuil kali ini."

Sepasang mata cantik Azran membelalak. Kemudian mata itu menyipit, kedua alisnya turun dan nyaris bertemu. Bibirnya yang sedari kami berangkat selalu menyunggingkan senyum lebar, kini memberengut, mengerucut jelek, penuh amarah.

"Ulangi. Sekali. Lagi." Bibir merahnya membentuk satu garis tipis. Giginya terkatup rapat, memperdengarkan suara marah yang lebih mirip desisan daripada kata-kata. Pendar di mata emasnya menyala lebh terang. Sihir hitam di tubuhnya semakin pekat. Darah menetes sekali lagi dari kedua mataku. Udara berubah panas oleh energi sihirnya seorang.

Dia butuh usaha lebih keras untuk jika berniat untuk membuatku takut.

Aku menggerutu, sengaja menunjukkan padanya kalau ancaman, gertakan, dan efek intimidasinya sama sekali tak berpengaruh. "Aku bilang, jangan hentikan aku. Jangan cegah aku."

Dan tahu-tahu saja Azran sudah ada di hadapanku, menutup sebagian besar jarak di antara kami. Matanya mendelik marah, napasnya tersengal. "Dan kau pikir aku mau melakukannya?" geramnya. "Kau pikir aku melakukan itu atas kemauanku sendiri?"

Lazarus ChestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang