Epilogue

2.5K 179 33
                                    

Semua orang punya definisi 'akhir bahagia' masing-masing. Serangkaian kalimat panjang yang diusahakan untuk membuat orang lain mengerti. Bagiku, cukup satu kata. Kamu.

•••

Baska tidak bisa menahan bibirnya untuk tidak tersenyum. Matanya juga terus bergerak mengikuti Gauri, ke manapun dia pergi. Mulai dari menyiapkan oatmeal, membuat strawberry juice, juga menuangkan air putih hangat untuk Bhaska. Hari ini adalah hari pertama mereka menjalani kehidupan rumah tangga. Dan Bhaska sudah sangat bahagia. Melihat pemandangan Gauri yang telaten menyiapkan sarapan membuat hati Bhaska menghangat.

Ya ... meskipun malam tadi Bhaska harus tidur hanya dengan selimut tipis dan beralaskan kasur lantai.

"Mau pergi sekarang aja, Neng?" tanya Bu Hana. Semua tamu undangan sudah pulang tadi subuh. Orang tua Bhaska juga. Mereka berniat untuk memberi sambutan pada pengantin baru di rumah yang sudah Bhaska beli 3 bulan yang lalu.

Gauri menoleh. Lalu, tersenyum. "Iya, Bu. Kalau kesiangan, takut kejebak macet nanti. Tapi, barang-barang kita di sini dulu, kok. Kalau mau pergi, pasti pamitan dulu sama Ibu." Gauri beralih pada Bhaska. "Pergi sekarang aja, yuk?"

"Boleh. Aku juga udah siap, tinggal jalan." Bhaska bangkit dari duduknya. Menawarkan lengannya pada Gauri. Tidak butuh waktu lama sampai tangan perempuan itu melingkar di lengannya. "Kami pergi dulu, Bu."

"Kalau situasinya memungkinkan, lebih baik kita jalan kaki," ucap Gauri sambil memasang sabuk pengaman. Kalau Gauri bukan penyanyi terkenal, Gauri pasti akan memilih untuk jalan kaki saja. Tapi, pasti akan banyak orang yang menghalau perjalanan mereka. Bukannya Gauri mau bersikap sombong, tapi mereka sedang dikejar waktu. "Bhas, berhenti lihat gue kayak gitu."

Bukannya merasa takut dengan suara rendah Gauri, Bhaska justru tertawa keras. Sambil mulai menjalankan mobilnya, dia geleng-geleng kepala. Bhaska tahu, Gauri hanya malu diperhatikan dengan lekat-lekat olehnya. Karena setiap Bhaska melakukan hal itu—selama 2 tahun ini—dia selalu bisa melihat dengan jelas warna kemerahan di pipi Gauri.

"I love you, Ri," ucap Bhaska. Dia tidak mengharapkan jawaban dari Gauri. Bhaska hanya ingin mengutarakan apa yang hatinya teriakkan sejak tadi. Betapa dia mencintai Gauri.

Gauri bergerak mengubah posisi duduknya, jadi menghadap Bhaska. "Aku mau nanya sesuatu sama kamu." Gauri bisa melihat Bhaska mengangkat sebelah alisnya, menunggu kelanjutan pertanyaan yang akan dilontarkan Gauri. "Kamu enggak akan larang aku jadi penyanyi, 'kan? Kamu enggak akan membatasi karier aku, 'kan?"

Kening Bhaska lantas berkerut. Rasanya, terlambat Gauri bertanya demikian, di saat mereka sudah resmi menikah. "Kenapa baru tanya sekarang?"

Wajah Gauri langsung berubah masam. Perasaannya tidak enak. Apalagi saat Bhaska tersenyum miring padanya. Segila apa pun laki-laki di hadapannya, semenyebalkan apa pun dia, secerewet apa pun dia, Bhaska tetap suami Gauri. Dan Bu Hana selalu berpesan supaya Gauri menuruti perkataan suami, selama itu berada dalam jalan kebaikan. Namun, untuk berhenti jadi seorang penyanyi, rasanya terlalu berat.

Tawa Bhaska kembali terdengar melihat wajah Gauri yang patut dikasihani. "ENggak mungkin aku larang kamu melakukan sesuatu yang bisa bikin kamu bahagia, Ri. Susah payah kamu bangun karier kamu selama bertahun-tahun, harus berhenti karena aku yang meminta? Tentu enggak bisa begitu. Aku tahu, menyanyi adalah dunia kamu. Aku enggak mau menghancurkan dunia kamu itu."

Gauri langsung mengembuskan napas lega sambil mengelus dada. "Syukur kalau gitu. Hampir aja aku stress di hari pertama kita sah jadi suami istri."

"Aku menikahi kamu untuk menjadikan kamu bahagia, melengkapi kamu, menjadikan kamu ratu. Kamu masih bebas melakukan apa yang kamu suka." Bhaska menjeda. Dia membelokkan mobil ke kiri. Mereka semakin dekat dengan tujuan. "Asal, kamu harus sadar kalau kamu bukan lagi perempuan lajang. Kamu punya aku yang butuh waktu kamu, perhatian kamu, cinta kamu."

Last Present [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang