6. Other Side

1.2K 150 33
                                    

Terkadang, bukan kata penenang yang dibutuhkan. Semua percuma jika hanya kebohongan. Telinga yang mendengar dan bahu untuk bersandar, itu lebih cukup untuk menjadi tempat mencurahkan kegundahan hati.

•••

Mata Gauri terpejam, tapi bukan berarti pikirannya ikut istirahat. Jemari lentiknya sibuk memetik senar gitar yang ada di pangkuannya. Sesekali dia bergumam, sesuai dengan irama salah satu lagunya terbarunya yang menjadi soundtrack film romantis. Pikirannya melayang, masih memikirkan tentang Rav yang belum muncul juga hingga kini. Terhitung sudah 2 kali 24 jam sampai sekarang.

Dan pikirannya itu harus buyar saat bel apartemennya berbunyi. Meski malas, Gauri tetap membuka pintunya. Dia harus mengisi perutnya yang sudah keroncongan sejak tadi. Begitu pintu dibuka, Gauri bisa melihat dandanan tidak biasa dari Bhaska.
 
“Nih, pizza sama colla punya lo.” Bhaska main masuk saja ke dalam apartemen Gauri. Dia menyimpan kotak pizza dan botol colla di atas meja. Kemudian, langsung berbalik, hendak kembali keluar. Namun, langkahnya terhenti saat Gauri berdiri menghalangi jalannya. “Lo butuh apa lagi? Mumpung gue masih di sini, mending lo ngomong sekarang. Gue mau pergi.”
   
“Emang lo mau ke mana?” tanya Gauri sambil menilai pernampilan Bhaska. Topi hitam yang dipakai secara terbalik, kaos putih dibalut jaket kulit hitam, celana jeans hitam, serta chunky sneakers warna putih. Dan, tolong catat, celana jeans Bhaska robek di bagian lututnya. “Lo bukan mau mejeng di lampu merah, 'kan?”
   
Tercoreng sudah harga diri laki-laki karena lidah tak bertulang milik Gauri Fidelya. Bhaska sampai harus memainkan lidahnya di rongga mulut terlebih dahulu sebelum menanggapi ucapan Gauri. “Gue enggak perlu mejeng di lampu merah buat dapat cewek. HP gue udah rame sama chat dari banyak cewek yang isinya ngajak tidur bareng.”
   
Kepala Gauri manggut-manggut. Bibirnya melengkung ke bawah, mengejek ucapan Bhaska. Dia berjalan menuju sofa, bersiap melahap makan malamnya. Mumpung tidak ada Elena, Gauri jadi bebas makan apa saja yang dia mau. Biar saja manajer baru ini dia bodohi sepuasnya. “Terus, lo mau ke mana?” tanya Gauri sambil menenggak colla miliknya. Namun, kemudian, Gauri harus menahan diri supaya tidak terbatuk saat wajah Bhaska sudah di depannya.
   
“Kenapa? Lo peduli banget sama gue kayaknya.” Alis Bhaska terangkat. Bola matanya menatap lekat-lekat mata Gauri. Bhaska sudah mengiranya dari awal, bahwa mata Gauri akan sangat indah tanpa eyeshadow, eyeliner, atau maskara. Matanya lebih cantik saat polos seperti ini. “Lo takut gue sibuk sama cewek selain lo? Aw!”
   
Napas Gauri kembali normal saat jaraknya dengan Bhaska sudah tidak terlalu dekat. Untung saja Gauri bisa berpikir dengan cepat, ide menendang tulang kering laki-laki itu terlintas di kepala secepat kilat. Kalau tidak, Gauri pasti akan menyemburkan semua colla kesayangannya ke wajah Bhaska.
   
“Gue nanya sama lo, bukan berarti gue peduli!” ketus Gauri. Dia bergerak cepat menutup botol colla. “Gue enggak mau aja kalau lo lalai sama pekerjaan lo sebagai manajer gue. Gue enggak peduli lo mau keluar malam sampai jam berapa juga, asal bisa tetap fresh waktu kerja sama gue. Dan ... gue juga perlu tahu lo kerja apa sebelum jadi manajer gue.”
   
“Sssh ....” Bhaska masih sibuk mengusap-usap tulang keringnya yang ditendang Gauri lumayan keras. Gila, tubuhnya memang mungil, tetapi kekuatannya mirip Hulk. “Gue club DJ. Puas?”
   
“Di mana?”
   
Susah payah Bhaska bisa berdiri tegap, gadis itu malah santai saja menyantap pizza. Bhaska berkacak pinggang, berharap penampilannya masih enak dipandang setelah keluar dari sini. “Waktu di London, gue biasa main di Ministry of Sound. Sekarang, gue main di Dragonfly.”
   
Ministry of Sound, Gauri cukup tercengang mengetahui fakta bahwa Bhaska adalah salah satu  bagian dari club malam besar London itu. Bukan hanya sebagai night club yang bisa didatangi 300 ribu clubber lebih pertahun, MoS juga merupakan label rekaman, penerbitan musik, dan stasiun radio. Itu artinya, Bhaska satu pergaulan dengan DJ Storm dan Matt Darey. Wah, Gauri bisa memanfaatkan Bhaska supaya bisa berkolaborasi dengan DJ dunia itu dan mulai menaikkan karirnya ke kancah internasional.
   
“Kalau nanti gue ada kerjaan ke London, lo bisa ajak gue ke Ministry? Kenalan sama—”
   
“Mereka bukan sembarangan orang. Mana mau ketemu sama orang biasa kayak lo?”
   
Tentu saja, Gauri langsung naik pitam karena perkataan Bhaska barusan. Dia langsung menghentikan kunyahannya, membanting potongan pizza di tangannya ke atas box cukup keras. “Heh, lo bilang apa? Orang biasa?! Gue penyanyi terkenal!”
   
“Emang mereka tahu lo penyanyi terkenal? Enggak, 'kan?” Bhaska tersenyum miring. Dia memutar topinya, siap-siap untuk pergi dari sana. “Mereka lebih kenal sama manajer lo, Bhaskara Millard.” Tak mau lagi berdebat, Bhaska lebih memilih untuk melangkah, benar-benar berangkat menuju Dragonfly. Ini adalah malam pertama dia kembali menjadi seorang disc jokey, harus menorehkan kesan baik untuk warga Jakarta.
   
“Gue pecat lo!” teriak Gauri.
   
“Iya, gue emang ganteng,” jawab Bhaska, melenceng jauh. Dia tidak menganggap serius ucapan Gauri. Karena untuk sekarang, hanya Bhaska yang memiliki kesempatan untuk menjadi manajer gadis temperamental itu.
   
Gauri menghentak-hentakan kakinya. Tidak pernah sekalipun Elena bertingkah kurang ajar seperti yang dilakukan Bhaska. Gauri juga tidak pernah kalah bersilat lidah sebelumnya. Namun, apa ini? Bhaska membuat Gauri hanya bisa mengungkapkan kekesannya dengan memukul punggung sofa dengan kekuatan tangan kecilnya.
   
“Ah, nafsu makan gue hilang gara-gara si Bhaska sialan!”

Last Present [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang