Prologue

3.5K 355 52
                                    

Tidak apa-apa jika awal ceritamu penuh dengan tragedi. Asal akhir dari cerita itu sangat patut untuk disyukuri.

•••

Seorang gadis kecil setia berdiri di balik jendela sambil memperhatikan anak-anak lain yang tampak gembira di bawah guyuran hujan. Berbeda dengan mereka yang tertawa bersama, bercanda, berlari ke sana kemari, gadis kecil dengan wajah bulat itu justru memasang wajah murung. Sup ayam dibiarkan begitu saja di atas meja sejak 2 jam yang lalu. Dia hanya menatap kosong ke depan sambil sesekali menggigit bibir bawahnya. Di usianya yang baru menginjak 5 tahun, gadis itu sudah memiliki pemikiran bahwa dunia ini kejam dan sangat tidak adil.
   
“Hai.” Tanpa permisi, seorang bocah laki-laki—dengan gigi atas depannya yang ompong— mendaratkan bokongnya di samping gadis itu. Wajahnya datar, tetapi tidak murung. Berulang kali dia menukar pandang antara anak-anak yang bermain hujan-hujanan dan juga gadis yang sedari tadi diam itu. “Kamu mau main sama mereka? Gabung aja, mereka semua baik, kok. Kita semua yang ada di sini adalah keluarga.”

Gadis kecil itu masih tidak bergeming. Menganggap kehadiran bocah laki-laki itu hanya hantu ompong yang tak kasat mata, suaranya hanya angin lalu. Tidak terusik sama sekali, tidak bergerak sama sekali.
   
“Kata ibu, kamu belum makan dari tadi pagi. Kenapa? Makanan buatan ibu enak, lho, apalagi sup ayamnya.” Bocah itu terus saja mengoceh, percaya bahwa perkataannya akan dijawab. “Kamu harus makan, biar nggak sakit. Apalagi, sekarang udah masuk musim hujan. Mau aku suapi?”
   
Masih sama, gadis itu tidak berkutik. Napasnya menderu begitu teratur bersama suara rintik hujan yang kian deras mengguyur bumi. Tatapannya masih kosong, tetapi tetap fokus pada satu titik. Di dalam kekosongan itu, jelas sekali ada kesedihan yang besar, ada kekecewaan yang tak kentara, ada kemarahan yang tidak terungkap. Dia hanya gadis kecil berusia 5 tahun, tetapi sudah diharuskan menanggung emosi sebesar itu.
   
“Rav,” panggil seseorang dari belakang, membuat bocah yang sedari tadi mengoceh itu menoleh seketika. “Sini, ibu mau bicara sama kamu.”
   
Dengan senyum lebar, bocah itu beranjak dari duduknya dan segera menghampiri wanita paruh baya yang memanggilnya. “Dia bisu, Bu? Dari tadi aku ajak bicara, enggak sekali pun dia jawab.”
   
“Bukan begitu, Sayang. Dia bisa bicara, kok, tapi sekarang sedang tidak mau. Semua orang yang baru datang ke sini memang selalu seperti itu, 'kan?” Dengan penuh kasih sayang, tangan wanita yang dipanggil 'Ibu' itu mengusap puncak kepala si Bocah Ompong. “Kamu terus bujuk dia makan, ya? Ibu takut dia sakit. Kamu juga harus terus ajak dia bicara. Pasti nanti dia jawab perkataan kamu juga.”
   
“Tapi, Bu, kayaknya dia enggak mau aku temani,” adu bocah itu sambil melirik punggung gadis kecil yang tadi dia sebut bisu.
   
Wanita paruh baya itu tersenyum. “Dia sangat ingin ditemani, tapi takut dikecewakan lagi. Dia takut ditinggalkan lagi.” Mengatakan hal seberat itu pada seorang bocah sudah sangat lumrah di bangunan tua itu. Lebih baik berterus terang meski menyakitkan, daripada membodohi untuk membuat mereka bahagia. “Dulu, Elena sama Ucup juga seperti itu, 'kan? Mereka tidak mau makan, tidak mau bicara, tidak mau bermain. Itu karena mereka masih kaget dengan perubahan hidup mereka. Tapi, berkat bantuan kamu, sekarang mereka bisa tertawa lagi.”
   
Secara otomatis, bocah itu menoleh ke arah sekumpulan anak kecil yang sedang bermain dengan air hujan. Gadis yang memiliki rambut panjang sampai pinggang, yang menggunakan gaun kuning selutut, yang memiliki paras paling cantik, dia adalah Elena. Dia datang ke rumah ini sekitar 3 bulan yang lalu. Sedangkan bocah laki-laki yang sedang berguling-guling di atas rumput sambil memejamkan matanya itu adalah Ucup. Dia datang seminggu setelah kedatangan Elena. Dulu, tidak ada wajah seceria itu di wajah mereka. Namun, setelah dibujuk oleh Rav, sekarang mereka bisa berdamai dengan kenyataan.
   
Mereka semua adalah anak-anak yang tidak diinginkan. Dianggap menyusahkan, beban, aib yang harus ditutupi, yang membuat mereka akhirnya berakhir di sini, Panti Asuhan Kasih Ibu. Ada yang dititipkan secara langsung, berpura-pura akan kembali lagi, tetapi tak kunjung menjemput. Ada yang ditinggalkan di teras panti tengah malam, dan paginya semua orang menemukan anak itu dalam keadaan demam tinggi. Ada juga yang ditinggalkan di arena bermain, mengatakan akan membeli makanan, tetapi tak kunjung kembali. Seperti gadis itu, yang termenung di jendela.
   
“Kamu mau bantu dia?” Ibu itu kembali bersuara, menyudahi pemikiran panjang Bocah Ompong.
   
“Mau!” Dengan senyum lebar yang mempelihatkan lubang di deretan giginya, anak itu mengangguk penuh antusias. Lalu, dia kembali berjalan mendekati gadis itu kembali. Dia mengambil sup ayam dingin yang ada di atas meja, mengambil sesendok kaldunya, lalu di arahkan ke pintu bibir gadis itu. “Kamu harus makan. Ibu juga enggak mau kamu sampai sakit. Jadi, kamu harus makan.”
   
Gadis itu tidak bergeming, masih asyik dengan dunianya sendiri.
   
“Tidak apa-apa kamu bersedih. Semua orang yang datang ke sini juga bersedih di hari pertama. Mereka menangis, meminta pulang, memanggil nama orang tua mereka dengan suara yang sangat mengganggu.” Bocah itu ikut memandangi saudara-saudaranya yang sedang berlarian ke sana kemari. “Tapi, setelah itu, kamu harus bangkit. Kamu juga harus bahagia. Kamu harus tunjukan pada dunia bahwa orang tuamu sudah melakukan kesalahan yang sangat besar telah menelantarkanmu.”
   
Air muka gadis itu berubah seketika. Tatapannya tidak kosong lagi. Bahkan, lehernya sedikit bergerak untuk bisa melihat wajah bocah di sampingnya. Hidungnya tinggi, alisnya tebal, pipinya tidak kalah bulat, rambut pendek khas seorang anak kecil, juga lubang hitam di balik bibir tebalnya.
   
Kemudian, si Bocah Ompong menoleh, mendapati sepasang mata bulat sedang mengamati wajahnya. Meski kaget, dia tetap berusaha mengatur ekspresinya. “Aku ada di sini dari bayi. Kalian masih beruntung tahu wajah orang tua kalian, nama orang tua kalian, punya kenangan bersama mereka. Sedangkan aku? Aku tidak ingat apa pun.” Tanpa aba-aba, jari telunjuk Bocah Ompong mendarat di tahi lalat yang ada di pipi kanan gadis pendiam itu. “Jangan sedih lagi. Semua yang ada di sini adalah keluarga, kamu tidak sendiri. Ini rumah baru kamu.”
   
Keluarga, orang tua, rumah. Bukan lagi pemikiran-pemikiran indah nan menenangkan untuk tiga hal itu. Yang ada hanya luka menganga, kekecewaan yang amat besar, juga perasaan terbuang yang begitu mencambuk untuk anak-anak yang ada di sini. Salah satunya, yang ada di hati dan kepala gadis itu.
   
Dia sudah sangat senang akan pergi bertamasya dengan kedua orang tuanya. Mereka sibuk, terlalu sibuk dengan urusan masing-masing. Bahkan, ibunya hanya akan datang di akhir minggu dan itu pun hanya akan tinggal beberapa jam saja. Lalu, dia akan pergi begitu saja setelah berdebat panjang dengan sang ayah. Yang jelas, namanya berulang kali disebut dalam pertengkaran itu. Kalimat 'sebuah kesalahan besar' sudah tidak terhitung mereka ucapkan. Mereka terlihat saling mencintai, tetapi saling membenci di waktu yang bersamaan.
   
Dan kemarin pagi, untuk pertama kalinya, mereka mengajak gadis itu pergi ke Bandung untuk bertamasnya. Dia sangat gembira, sudah membayangkan akan betapa menyenangkannya menghabiskan banyak waktu dengan orang tua di suasana baru. Dia di ajak ke studio bermain besar, tempat bermain paling terkenal di Bandung. Di tengah-tengah kesenangan, gadis itu diminta untuk duduk di salah satu kursi.
   
Kamu tunggu di sini dulu, ya? Mama sama Papa mau beli tiket untuk masuk wahana mandi bola. Jangan ikut, harus tunggu di sini. Mengerti?”

“Jangan lama-lama, aku takut.”
   
Dia setia menunggu di kursi itu. Terus menunggu meski waktu sudah berlalu, meski perutnya lapar, meski orang lain sudah pulang bersama orang tua mereka. Hingga di tengah kesadarannya, dia melihat segerombol anak-anak berlari ke arahnya. Meminta dia bertahan, meminta dia kembali menunggu. Mereka tak lain adalah anak-anak panti di sini. Mereka memiliki nasib serupa, memiliki perasaan tidak diinginkan, memiliki pertanyaan mengapa harus dilahirkan jika akhirnya dibuang.
   
“Namaku Gaurav, panggil aja Rav. Nama kamu siapa?” Bocah Ompong itu mengulurkan tangannya.
   
“Lupa.”
   
Mata si Ompong yang bernama Rav itu langsung berbinar saat mendengar sahutan gadis kecil yang ia kira bisu itu. Suaranya lebih indah dari yang dia perkirakan. Lebih renyah dari tawa Elena saat dia melakukan hal konyol. Dia berhasil, seperti biasa.
   
“Lupa? Kalau gitu, kamu sekarang enggak punya nama?” Rav meletakkan telunjuknya di dagu, seperti sedang berpikir. “Kalau aku kasih nama yang bagus, kamu mau?”
   
Nama, identitas paling utama saat kita bukan siapa-siapa. Dan gadis itu sudah memutuskan untuk memperbarui identitasnya. Dia ingin melupakan segala sesuatu dalam hidupnya sebelum datang ke panti asuhan ini. Dia ingin melupakan orang tuanya yang sudah kejam memintanya untuk menunggu tanpa pernah kembali.
   
“Mau,” singkat gadis itu.
   
“Gauri,” jawab Rav sambil tersenyum. “Nama kamu sekarang Gauri. Kamu suka?”
   
Gauri. Artinya jalan kehidupan yang merdeka, bahagia, dan sempurna. Mungkin, dari sinilah awal takdir baru yang akan menemani gadis itu selama hidupnya. Dia merdeka, tidak perlu lagi mendengar perdebatan orang tuanya yang menyebutkan dia sebagai kesalahan besar. Dia akan lebih bahagia jika tinggal di sini. Hidupnya akan sempurna meski tanpa orang tua yang tak menginginkannya.

“Iya, aku suka. Mulai sekarang, namaku Gauri.”

*
*
*
Gimana? Suka nggak sama prolognya?
Mata kalian pusing nggak kalau pake format kek gini? Atau mending format yang biasa aja?

Kasih kritik dan saran yaa ....

Bini Ceye,
24 April 2020

Last Present [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang