34. Love, Lose

1.2K 131 133
                                    










          
     "Bim ... gue kangen kita."

Genangan itu merebak memenuhi tatapan Banyu.

     Bahkan bertirai rintik hujan yang rapat, Adinda bisa melihatnya. Banyu hanya terdiam, lalu sekali lagi tangannya terangkat dan menepikan sisa helai rambut di wajahnya karena hempas hujan, menyelipkannya di belakang telinga Adinda.

     Debaran di antara sakit yang menghimpit itu menggerayang dalam dada sebagaimana Banyu menatapnya lekat meneliti wajahnya.

     "And you're still beautiful," ujar Banyu dengan kesedihan menyelimuti kedua manik hitam matanya. Dan Adinda belum sempat menerka kesedihan macam apa yang bersemayam dalam netra itu ketika Banyu mendekatkan wajah dan kecupan itu tertanam di pipinya begitu saja.

     Adinda terkesiap merasakan hangat bibir Banyu di wajahnya. Banyu mencium pipinya untuk beberapa saat, sebelum kemudian menarik dirinya; tidak cukup jauh, karena Adinda masih bisa merasakan hangat napasnya di pipi. Ketika Adinda mengangkat tatapan, dia bahkan bisa menghitung helai bulu mata pemuda itu.

     "Bim—" Napasnya tersendat karena sentuhan ringan Banyu di satu sisi wajahnya, membelai rahang dan kecupan itu kembali tertanam di pipi.

     Adinda memejamkan mata merasakan ciuman itu meniti wajahnya. Di tulang pipi, pelipis, di dekat telinga, kening, hidung, rahang serta sudut bibirnya. Adinda bahkan tidak sadar sejak kapan dia menjatuhkan jaket yang menutupi kepala karena kedua tangan yang seharusnya menahan tepiannya, kini telah mencengkeram erat pundak Banyu sementara sang pemuda menciumi wajahnya.

     Teman seperti apa yang menciumi wajahnya seperti itu? Teman seperti apa yang membuatnya ingin menyerah dan mengatakan bahwa tidak pernah sedetik pun hatinya untuk orang lain tapi untuknya? Bahwa tidak pernah dia menyukai wangi lain selain wangi lembutnya?

     Lututnya lunglai. Untuk sesaat Adinda lupa bagaimana bernapas dengan hidungnya, tapi segenggam kewarasan yang tersisa cukup untuk membuatnya menghentikan itu. Didorongnya menjauh pundak Banyu dan dia sedikit terhuyung saat pemuda itu melepaskannya.

     "Udah ya, Bim ...." Suaranya bergetar.



     Melihat Adinda dengan gugup mengusap sekilas sisi wajah yang sesaat lalu diciuminya seolah dia berhak untuk itu, menghancurkan angan Banyu yang memang telah rapuh.

     "You love him?"

     Adinda menatapnya, lekat, untuk pertanyaan yang terlepas begitu saja dari bibirnya, kemudian mengangguk. Mengirimkan sengatan sakit yang Banyu tidak bisa lagi mengungkapkan bagaimana rasanya.

     "Are you happy?"

     Menatapnya lagi, lebih lama, Adinda pun menganggukkan kepala dan detik itu juga Banyu kehilangan dirinya sendiri.

     Adinda terkesiap, mencengkeram kedua lengannya sementara Banyu memagut bibirnya. Menarik Adinda merapat padanya, Banyu memagut bibirnya meluapkan rindu dan marah yang lama menumpuk.

     "Tell me," Banyu berkata lirih dan dekat pada bibirnya yang mungil dan penuh. "Just tell me, when you don't love him anymore."

     Bibir mereka kembali saling menaut. Tidak ada penolakan. Tidak ada isyarat bahwa Adinda ingin agar dia berhenti. Berhenti membelai bibirnya, mencumbunya, menambahkan sesak karena rindu yang semakin pekat dengan nyata bahwa Adinda bukan miliknya.

     Bolehkah dia menciumnya seperti ini? Bolehkah dia mencumbu bibirnya seperti ini?

     Adinda melepas tautan bibir mereka dengan desah singkat dan menarik diri dari pelukan Banyu. Bibirnya terkatup rapat, matanya menatap entah ke mana.

Malam Biru Where stories live. Discover now