6. Affection

1K 128 52
                                    




     "Besok jadi pulang kan, Dinda?"

      "Hng— akh! Haissssh ...." Adinda menjawab sambil melepas slipper yang nyaris membuatnya terjungkal di pintu.

      "Dinda?? Kenapa??"

     "Tsk, ini, Bim, gue hampir kepleset sendal."

     "Ati-ati ...."

     "Iya, ini udah mepet jam kuliah pertama, gue bangun kesiangan," jawabnya, terburu-buru menuruni tangga karena dia hampir terlambat. Disempatkannya menghampiri eyang putri yang sedang merapikan sisa sarapan pagi eyang kakung, mengecup pipi sang nenek sekilas.

     Eyang putri memandang dengan kening terkerut samar. "Nduk, pagi ini kan Pak Sigit nganter Kakung ke dokter."

     Seketika Adinda terkesiap. "Hah? Oh iya, Eyang, ya ampun Dinda lupa," ujarnya panik.

     "Kamu berangkat naik taksi apa gimana?" tanya eyang putri.

     Padahal 20 menit lagi dia sudah harus berada di kelas untuk mata kuliah dengan dosen paling galak di belantara fakultas. Tidak ada horor yang lebih menakutkan dari terlambat masuk ke kelas kali itu. Mampus!

     "Iya, Eyang, aduh! Ya udah, Dinda berangkat dulu ya," jawabnya dengan keringat dingin mulai merembes dari pori-pori sementara menyusupkan kaki pada sepasang converse putih yang dia injak begitu saja pada bagian tumit seraya berlari keluar.

     "Dinda? Gimana?"

     "Gue telat, Bim, aduh ... naik gojek apa naik taksi— dua-duanya nunggu, gimana nih?"

     "Yang cepet yang mana? Jangan panik ya, pasti dapet kok."

     "Iya, Bim," sahutnya, melangkah keluar pagar, namun berhenti kala melihat pemuda cucu teman eyang yang tinggal berseberangan rumah tampak sedang memakai helm di atas motornya.

     Mereka saling melempar pandang dan pemuda itu mengulas senyum ringan, menyapa, "Pagi!"

     "Pagi ...."

     "Siapa, Dinda?"

     "Ke kampus?" tanya pemuda itu, menyahut pertanyaan Banyu yang terdengar dari sambungan mereka. "Kok nggak dianter?"

     "Iya, hari ini berangkat sendiri."

     "Mau berangkat bareng nggak?"

     "Eh ...." Tersadar bahwa dia masih tersambung dengan Banyu, Adinda beralih ke ponselnya dan berkata pelan, "Bim, bentar ya."

     "Oh, oke."

     Menutup telepon, Adinda kembali memandang pada Brian dan ragu-ragu menjawab, "Nggak papa?"

     "Ya nggak papa lah, haha ... emang kenapa?" kata Brian seraya melajukan vespa biru laut-nya mendekat.

     "Hehe ... sorry ya ngerepotin."

     Brian menunduk meraih helm di bawah jok dan mengulurkan padanya. Helm berwarna pink cerah itu nyaris membuat Adinda bertanya, "Ini punya cewek kamu?" tapi bersamaan dengan itu Brian berkata, "Itu punya temen, cowok, biasanya bau gel rambut. Kalo nggak suka, nggak dipakai juga nggak 'papa."

     Dan Adinda menemukan stiker bertuliskan 'THOMAS' menempel di tepian helm, berpikir bahwa mungkin itu nama si empunya.

      Sekilas dia mencium bagian dalam helm itu dan memang benar; tercium aroma wangi gel rambut.

Malam Biru Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang