Diusap-usapnya wajahnya yang baru saja dibasuhnya setibanya di rumah. Sementara itu, Bibi Sarrah tiba dengan handuk di tangannya.

“Cepat keringkan.” katanya sambil menatapnya kecewa.

Dirinya tak menjawab, namun Bibi Sarrah segera meninggalkan handuk itu dan berlalu meninggalkannya yang tengah duduk di beranda samping.

“Aku tak bisa mengantarmu ke stasiun.” balas ayahku sambil menatap handuk di tangannya, membuat langkah Bibi Sarrah terhenti dan mulai berbalik.

“Kenapa Marie bisa melakukan itu?” tanya Bibi Sarrah dengan suaranya bergetar menahan tangis.

Sejenak ayahku menatapnya, lalu dipalingkan wajahnya tak berani menjawab.

“Aku gagal sebagai ayah. Maafkan aku..” ujarnya kembali lirih.

“Kau tak hanya gagal sebagai ayah, tapi juga sebagai suami untuk Elaine.”

Keesokan harinya, sepasang kaki yang baru saja tiba melangkah menyusuri stasiun padat di siang ini. Tangannya menggenggam sebuah kertas bertuliskan sebuah alamat. Ditariknya koper di genggaman tangan lainnya. Matanya menelusuri nama jalan di alamat itu.

Langkahnya perlahan memendek dan nyaris terseret. Sebelum dirinya terkejut, seorang wanita berhasil menabrak bahunya kencang. Wajahnya tertoleh sejenak, mata cokelatnya membulat memandangi wanita itu.

“Bibi Sarrah..” panggilnya spontan.

Segera wanita itu menoleh, dipandanginya gadis berambut ikal dan bermata cokelat itu. Matanya sejenak membulat menelusuri setiap wajah gadis itu. Dan segera senyum mengembang di wajahnya.

“Edlyn..” balasnya sambil kembali mendekat.

“Apa yang kau lakukan di sini?” lanjutnya lagi.

“Aku ingin mengunjungi Marie. Saya permisi dulu.” jawabnya, lalu kembali meneruskan langkahnya.

Dipandanginya sejenak punggung Edlyn yang mulai melenggang pergi. Dirinya hendak meneriakkan nama gadis itu lagi, namun sesuatu ingin membuatnya untuk menunda. Diputar langkahnya untuk kembali pergi.

Sepasang kakinya tiba pada sebuah rumah kayu. Rambut ikalnya bergerak mengikuti tiupan angin yang berhembus. Langkah pastinya membawanya untuk mengetuk pintunya. Dan suara derap langkah yang mendekat ke arah pintu terdengar olehnya. Segera seorang pria paruh baya itu melongokkan wajah kusutnya untuk melihat tamu yang tiba siang ini.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan bermalas-malasan.

“Saya Edlyn, temannya Marie saat bersekolah dulu.”

Dirinya terduduk di ruang tamu rumah kayu ini. Matanya menelusuri setiap sudut ruang tamu sederhana itu. Hingga pria paruh baya itu kembali dengan secangkir teh di tangannya. Tangannya terulur untuk menyeret cangkir teh itu ke hadapan gadis di depannya.

“Terima kasih.” ujar gadis itu dengan ramah.

Matanya masih berbinar menunggu kabar sahabatnya. Namun, pria paruh baya di hadapannya menunjukkan reaksi yang berbeda darinya.

“Apa Marie ada di—” tanyanya terpotong oleh ucapan pria itu.

“Saya akan jelaskan semuanya padamu tentang keadaan Marie.”

Edlyn menganggukan kepalanya pelan. Matanya masih saja menunggu, namun raut pria di hadapannya ingin berkata lain tentang sesuatu.

“Marie meninggal dalam kecelakaan. Kemarin adalah upacara pemakamannya.” katanya tercekat.

Segera matanya membulat, napasnya tercekat, dan hatinya mencelos mendengarnya. Dirinya hanya membungkam diam, lidahnya kelu tak dapat berucap. Kepalanya perlahan tertunduk untuk menyembunyikan kesedihannya. Bibirnya ingin kembali berkata, namun tangis telah membendungnya.

“Maafkan saya. Kau berkunjung dalam keadaan seperti ini.” lanjut pria itu masih dengan tercekat menahan tangis juga.

“Saya belum sempat mengucapkan salam apa pun untuk Marie. Saya merasa bersalah padanya.” katanya dengan bergetar.

“Saya pun sama. Dirinya diduga membunuh dirinya sendiri dengan menabrakkan tubuhnya pada sebuah mobil yang tengah melintas pada malam hujan itu.” jelasnya sambil berlinang air mata.

Gadis di hadapannya sama seperti dirinya, bibirnya bergetar dan kedua pipinya basah oleh air mata. Telinganya menyimak semua perkataan pria itu dengan seksama. Hatinya ingin menolak pernyataan itu, menganggapnya sebagai suatu kebohongan. Namun, pria itu mulai angkat bicara lagi.

Sudah lama aku melupakan sebuah malam, hanya itu kalimat terakhir yang saya dengar darinya. Dirinya tahu, kalau dirinya akan segera pergi. Dan dirinya ingin merindukan dunia ini selalu.” Tangisnya semakin mendera tubuh rapuhnya saat ini.

Tangannya terangkat untuk menyeka air matanya yang kembali jatuh. Perlahan tangan gadis itu mulai meremas lembut kertas di tangannya. Kenapa semua ini terjadi padamu, Marie?

Tangannya terulur ke arahku. Aku menatapnya bergatian dengan uluran tangannya. Sementara di tangan kiriku telah tergenggam sebuah mawar hitam terakhirku. Begitu akhirnya kulihat dirinya mengulum senyum itu, dirinya meyakinkanku.

“Apa kau yakin dengan ini, Derryl?” tanyaku padanya yang belum menarik kembali uluran tangan itu.

Dirinya hanya mengangguk pelan, senyum di wajahnya masih menghiasi sudut bibirnya.

“Sekarang, aku bisa mencintaimu sepenuhnya..” katanya bergetar sambil menatap mataku lekat.

Tanganku terangkat untuk menyambut uluran tangannya. Tangannya menggenggam lembut tanganku. Senyum tipis tersungging olehku, dan aku bisa merasakan kehangatan menjalari tubuhku.

Perlahan mawar hitam di tangan kiriku itu mulai melunturkan warnanya. Menyisakan setangkai mawar merah cantik yang sekarang tengah kugenggam. Dan sebuah jalan keabadian telah menantiku, aku mulai berjalan ke arahnya bersama dirinya.

Dengan langkah tergesa, pria paruh baya menuju halaman samping rumah kayunya. Dilemparnya beberapa lembar kertas sketsa milikku ke tanah. Tangannya terangkat untuk menghidupkan sebatang korek api, angin berhasil meniupnya. Dan berikutnya tekadnya tak surut untuk menghanguskan semua.

Sebuah api menyala di ujung batang koreknya. Dihempaskannya untuk menjalari api pada kertas sketsa di dekat kakinya itu. Api segera menghanguskan dan melahapnya, menyisakan setumpukan abu di tanah.

Kepalanya tertunduk, dan kembali dirinya masih terisak oleh tangis. Dibuangnya jauh kenangan tentangku. Kutahu dirinya tak akan bisa, karena tangis mengingatkannya akan diriku. Dirinya ‘kan selalu mengenang diriku.

Seorang gadis duduk bergetar di depan toko aksesoris itu. Tubuhnya basah oleh hujan, dan tangannya meremas lembut sebuah payung kuning di genggamannya. Tak lama dirinya terduduk, seorang lelaki berjalan ke arahnya lalu duduk tepat di sisinya.

Matanya selintas melirik payung gadis di sampingnya. Dengan keberanian yang dimilikinya, akhirnya dirinya memulai.

“Permisi, Nona. Apa anda masih membutuhkan payung di tangan anda itu? Saya ingin meminjamnya.”

Suaranya bergetar dan basah terdengar seperti hujan. Mataku terjaga, hatiku menunggu. Aku seakan berjalan di antara waktu, dan aku berjalan untuk mengulangnya. Percayalah pada hujan, jangan satukan mereka dengan perpisahan. Namun, hujan telah menjadikan sebuah perpisahan kali ini.

Aku percaya dirinya bukanlah senyum ibuku. Aku mengenalnya pasti. Hingga derit jembatan kayu itu tak lagi terdengar dan deru kereta uap telah seluruhnya tertelan bersama hujan terakhir.

Langkahku memulai bersamanya, sebuah jalan terbuka untukku. Entah diriku siap atau tidak, aku berjalan ke arahnya. Namun, tangkai demi tangkai bunga seruni itu menjadi penghias terakhir. Aku telah mengakhiri sketsa hujanku.

©FYP

Sketsa Rindu untuk HujanWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu