HUJAN DI BALIK PAYUNG

1.6K 38 0
                                    

"Tak akan kubiarkan dirinya sendiri dan kesepian. Sendiri menanggung semuanya. Aku akan menemukan sinar hangat musim panas, setelah musim hujan-dalam dirinya aku berhasil menemukan itu." ~ Derryl

Aku kembali duduk di kursi kayu di teras, memandang danau tenang yang memantulkan kehangatan di pagi hari. Membayangkan diriku tenggelam bersama ketenangan yang dibuatnya. Sungguh nikmat tanpa perlu berusaha untuk tetap terapung di atas atau tidak akan tenggelam kemudian. Menikmati diri ini bersama sang surya untuk hanya beberapa saat, hingga dirinya harus pergi-tenggelam di ufuk barat bumi.

Cakrawala membentang luas tanpa batas, seperti harapan semua orang. Tidak untukku, harapanku hanya cukup sedalam atau mungkin sedangkal intensitas hujan yang tercurah ke bumi. Karena hujan sudah menjadi cerita, menjadi bagian terpenting dalam hidupku.

Saat suara dehaman cukup keras, membuyarkan segala lamunanku yang sudah melampaui batas. Aroma kopi hitam pekat menusuk hidungku. Dan rekahan kertas koran yang terbuka membuat aku seakan terhempas begitu saja.

"Melamunkan sesuatu?" suara ayahku menyela keadaan ini.

Aku menoleh untuk memandangnya, membungkam semua jawabanku dan menelan kembali ucapan yang hampir saja terlontar, keluar dari mulutku.

Aku tertoleh pada kopi hitam di atas meja, memandang kepulan uap hangat di atasnya. Namun, kini ayahku segera menaruh perhatiannya padaku.

"Ada sesuatu yang terjadi, Marie?" suaranya mulai terdengar lebih lantang.

Aku kembali menoleh kepadanya. Lalu dengan pelan kugelengkan kepalaku untuk memuaskan jawabannya.

"Bukan itu maksud ayah." pernyataannya yang meminta lebih.

"Aku bertemu seseorang yang memiliki kesalahan sepertiku. Terasa bodoh sekali, jika aku mengakuinya."

"Semua orang bisa melakukan kesalahan, Marie."

"Kesalahan yang akan disesali seumur hidup?" kini balasku ingin lebih menantang.

"Sama seperti ayah. Ayah menyesal memilih meninggalkan ibumu, walau ibumu yang meninggalkan ayah terlebih dahulu. Penyesalan yang tak akan pernah berakhir." suaranya terdengar sangat lirih untuk bisa terdengar.

"Tempat inilah yang cocok untuk kita saat ini. Untuk itu aku ingin menetap untuk sementara."

Sekarang kami kembali terdiam, tenggelam dalam kebisuan dan dunia yang kami buat masing-masing. Tanpa perlu melanjutkan kelanjutan cerita penyesalan ini, kami tahu arah kehidupan kami selanjutnya, yaitu bersama. Kita hanya bisa untuk bersama untuk melupakan penyesalan itu.

Beberapa menit yang lalu ayah sudah pergi meninggalkan rumah untuk bekerja, sementara langkahku saat ini menyeberangi jembatan kayu di atas sungai yang cukup lebar di dekat danau. Mataku menangkap ke arah jembatan batu di sisi lain. Yang kulihat bukanlah jembatan kokoh itu, namun seseorang yang berdiri di sana. Berdiri berlindung di bawah payung kelabunya, menatap ke arahku lalu mengulum senyumnya.

Tak lama diri itu lenyap, hanya halusinasiku. Karena kereta api uap baru saja melintas di atas jembatan itu, entah kapan aku tak mendengar suara kedatangannya. Suara deru mesinnya masih menggema ke segala arah, lalu lenyap seakan angin yang menelan suara itu.

Langkahku terhenti di depan kafe kopi itu. Di benakku terlintas kenangan itu. Seorang ibu yang harus pergi meninggalkan anaknya, sementara anaknya menyesali segala perbuatannya itu.

Kafe itu terlihat sepi di pagi hari, dan di depan pintunya masih terpampang dengan jelas bahwa kafe itu masih tutup. Saat aku masih terus memandangi pintu itu, pintu itu terbuka dan keluar seorang pelayan wanita yang kemarin, sambil membawa kantong plastik hitam.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang