HUJAN MUSIM LALU

3.3K 86 2
                                    

“Terkenang dahulu. Inilah waktuku mengenang kembali. Aku menemukan punggung kesepian itu, mengharapkan hujan turun, namun tak kunjung. Hingga aku melihatnya bersama punggung lain di bawah payung kelabu.” ~ Kyle

Aku kembali terduduk di depan toko aksesoris itu lagi. Aku tersenyum, karena aku kembali mengingat diri itu. Suara bergetar nan basah, punggung kesepian, kuluman senyum, dan tatapan berbicaranya—aku menunggunya saat ini. Aku tidaklah lagi merindukannya, karena semua sudah cukup terekam menjadi memori tersendiri untukku.

Sebuah hembusan angin lembut menyapa kulitku, siap untuk menyambut hujan. Kata yang terindah, meskipun masa lalu yang begitu pahit untuk dikenang. Namun, aku menghalaunya dengan caraku sendiri. Aku bangkit berdiri menepis semua kegundahan dalam hati, memulai langkah menyusuri jalan pulang.

“Siapa aku ini? Kenapa aku merasa begitu kesepian?” batinku merana, mendapati rumah dalam keadaan sepi dan gelap.

Kudapati diriku ini tengah terduduk di sofa empuk, di ruang tengah yang diselimuti khawatir yang marajai. Aku menatap gelas kaca kosong di meja, di depanku. Meraihnya dan seketika semua terulang. Kembali mengulang. Gelas itu tergelincir dari genggamanku, jatuh menghantam lantai, dan tampak serpihan kaca yang tak lagi berbentuk gelas berserakan di hadapanku.

Suara pecahnya gelas itu membangunkanku dari tidur malam ini. Itu hanyalah sebuah mimpi. Segera kusibakkan selimutku, berjalan ke arah jendela. Membuka tirainya dan kudapati warna kelabu kembali menggantung di langit, jauh mendominasi daripada pagi hari yang cerah.

“Aarrgghh..” jeritan kesal itu membuatku tersadar, itu bukan hanya sebuah mimpi.

Aku segera berjalan menuju asal suara itu. Bibiku berdiri di samping meja makan, memegangi tangan kanannya yang meneteskan darah. Sontak aku berlari ke arahnya.

“Bibi, apa yang terjadi?” aku mulai panik melihat ini semua. Dapur terlihat berantakan, beberapa serpihan kaca pecah tersebar di lantai.

“Hati-hati kakimu bisa terluka! Biar bibi yang mengobati luka ini, dan biarkan bibi yang membereskan kaca ini.” halau bibiku, meskipun belum sempat menjawab pertanyaanku.

“Biar aku membantu membereskan pecahan saja. Bibi segera obati lukanya, aku tak ingin melihat bibi terluka lebih parah.”

Aku segera memungut serpih demi serpih pecahan kaca itu. Ini sama seperti memungut serpih kenangan yang menyakitkan. Aku terus menahan ngilu di hati ini, entah muncul karena apa. Memancingku untuk melakukan sesuatu yang tak ingin kulakukan.

Hingga aku mulai bangkit, dan melihat bibiku tengah selesai membalut lukanya dengan perban putih. Aku memandangi wajahnya yang menahan perih, dan ada sesuatu tengah disembunyikannya—kesedihan.

Aku terus melangkah melewati persimpangan, tengah siap bersekolah. Hari mungkin tidak akan bersahabat kali ini, namun apa yang bisa kulakukan—hari belum berpihak padaku.

Melupakan sejenak kejadian tadi pagi yang terus membuatku penasaran. Tentang Bibi Sarrah, apa yang terjadi dengannya tadi? Aku melihat diriku begitu panik, namun begitu aneh jika aku juga mengelaknya. Aku menyayangi bibiku, sama seperti aku menyayangi ibuku—walau tak bisa merubah segalanya dari awal.

“Apa yang kau lamunkan lagi, Marie? Melamunkan mendung di depan sekolah?” Edlyn berhasil membuatku kembali sadar, dirinya terkekeh melihat tingkah bodohku pagi ini.

“Ayolah..” kini Edlyn menarik lenganku, mengajak memasuki sekolah.

Untuk sekarang ini aku percaya padanya, Edlyn selalu mengertiku saat di sekolah. Dan aku mengenalnya lewat caranya sendiri.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang