SEGARIS EMBUN HUJAN

968 28 1
                                    

“Kapan aku akan meninggalkannya? Mungkin aku menemukan dirinya kembali di balik payung kuning, namun aku tak pernah melupakan cintanya. Dirinya bersembunyi, namun belum terlambat untukku menemukannya.” ~ Derryl

Langkahku menuju ke beranda rumah pagi ini. Mendapati secangkir kopi pekat di atas meja bundar dan ayahku yang duduk di kursi kayu—meninggalkan korannya pagi ini. Aku menyoba menyadarkan dirinya dari lamunan yang sudah melambung tinggi. Belum sempat aku terduduk, aku tersentak begitu melihat payung kuning ibuku dulu terjemur di dekat pintu.

“Ada apa, Marie?” tanya ayahku yang membuatku terkejut.

“Apa—bukan. Kenapa payung kuning itu ada di sana?” tanyaku sambil menunjuk payung itu.

“Bukan apa-apa. Hanya saja kemarin masih basah.”

Aku hanya mengangguk mengerti, lalu mendudukkan diriku di samping ayahku. Aku memandangi danau kecil di sisi rumah kayu ini—mengagumi pendar kehangatannya.

“Apa kau ingin memilikinya lagi?” tanya ayahku tiba-tiba. Segera kupalingkan wajahku untuk mendengar lanjutan kalimat ayahku.

“Memiliki apa?” jawabku balas bertanya padanya.

“Payung kuning itu.” suaranya terdengar parau untuk mengatakan itu. Mungkin saja tak dapat kudengar jika napasnya tercekat.

“Mungkin saja, aku akan kembali memiliki perasaan itu jika aku kembali bernaung di bawah payung kuning itu saat hujan.”

“Apa ayah tidak keberatan?” tanyaku dengan berhati-hati mengucapkannya.

“Tentu saja tidak. Kenangan itu sekarang milikmu.”

Hatiku berdegup kencang mendengar jawaban ayah. Napasku terhenti, mataku tak lagi sanggup berkedip. Kalimatnya seakan sebuah mantra yang sanggup membuat lidahku kelu. Dan, benakku menggemakan kalimatnya. Kenangan itu sekarang milikmu.

“Ada apa lagi, Marie?”

Aku segera menggelengkan kepalaku cepat, begitu kurasakan ayahku menangkap binar mataku memandangnya. Kuhabiskan pagiku dengan meneguk secangkir kisah yang dulu pernah hilang, dan kini telah kumiliki kembali.

Bibirku tak henti-hentinya terus tersenyum, memandangi benda berwarna kuning ini di tanganku. Tanpa terasa langkahku mulai menapaki jembatan kayu ini. Pandanganku tertoleh pada jembatan batu di sisi lain, sebuah kereta uap melintas di atasnya. Lalu, pandanganku kembali ke depan—kembali menyusuri jembatan ini.

Langkahku terhenti begitu aku melihat seseorang yang berdiri di depanku tengah mengulum senyum simetrisnya menghadapku. Lengan kemejanya digulung hingga di atas siku, dan ujung kerahnya tampak terlipat. Lalu, pandanganku beralih ke bawah, dirinya seperti biasa menggenggam payung kelabu di tangan kirinya. Lama kami terdiam, bibirnya semakin melengkungkan sebuah senyum indah di wajahnya—aku harus memuji itu.

“Derryl..” panggilku akhirnya.

Aku berjalan mendekat ke arahnya, sambil menyunggingkan senyum tipisku. Lalu, sebuah angin melintas membatasi kami untuk berdiri, aku dapat merasakan itu.

“Aku melihatmu bahagia. Aku senang bisa melihatmu seperti ini. Tapi sebelumnya, maafkan aku—”

Aku segera memotong kalimatnya, begitu aku tahu arah pembicaraan ini.

“Semua manusia pernah melakukan kesalahan, termasuk malaikat sekali pun. Apa kau percaya mereka semua sempurna? Awalnya aku kecewa, mengetahui dirimu yang begitu egois. Namun, perasaanku belum berubah saat ini.” potongku dengan cepat.

Aku terkekeh mendengar perkataanku dan segera kuenyahkan dengan topik pembicaraan yang menarik. Kuingat-ingat kembali kejadian itu, Derryl mencoba mengungkapkan kenyataan di balik kisah kematian ibuku. Namun, percaya atau tidak aku merasa hidupku telah dibutakan oleh sesuatu yang kusebut cinta.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang