EPILOG

1.8K 36 0
                                    

-AKHIR SEBUAH SKETSA-

“Dirinya pergi tanpa meninggalkan pesan untukku. Nanyian sendu mengiringi kepergiannya. Setangkai demi tangkai bunga seruni menjadi penghias dirinya dalam balutan duka.” ~ Edlyn

Kemeja hitam pria paruh baya itu tampak kusut, wajahnya tak jauh berbeda dari kemejanya. Air mata membasahi wajahnya. Berulang kali dirinya menyeka air matanya untuk tak jatuh agar dirinya tetap tampak tegar. Dipandanginya orang yang berkeliling di sebelahnya. Mereka tak jauh berbeda dengan dirinya. Dipalingkannya sejenak wajahnya untuk kembali menghapus air matanya yang mulai kembali menetes.

Sementara itu isak tangis wanita paruh baya di sisinya menjadi atmosfer duka di sini. Dilepasnya payung hitam itu dari tangannya. Dua gadis di sisinya mengusap-usap punggungnya dan menepuk lembut bahunya yang berguncang karena tangis, mencoba mengurangi duka yang dirasakannya. Di seberang sana, tampak punggung tegarnya. Namun, matanya mencoba menerawang jauh ke depan, menyembunyikan tangis dan kesedihannya pada bunga seruni di genggamannya.

Perlahan satu per satu mereka mengulurkan tangannya, meletakkan bunga-bunga seruni itu ke sebuah makam yang baru saja terisi. Sesekali dua gadis itu ikut terisak dan bergumam, menggumamkan namaku.

“Marie—” panggil Fionagh tercekat.

“Maafkan aku. Maafkan aku, aku sungguh minta maaf.” lanjutnya masih dengan terisak.

Sementara itu di sisinya, gadis satunya menggumamkan pelan sesuatu.

“Kau ‘kan merindukan dunia, dan aku juga ‘kan merindukanmu. Kenapa harus secepat ini? Marie..” gumam Shannon sambil terisak.

Bibi Sarrah perlahan mendekatkan langkahnya pada sebuah nisan, diusapnya perlahan bersama jatuhnya air mata dari sudut matanya.

“Bibi menyayangimu, Marie. Meski kau tak menganggap bibi ini sebagai ibumu, kau tetap menjadi anak bibi..” ujarnya pelan, lalu segera dirinya berpaling.

Reyn segera memalingkan wajahnya begitu melihat suasana saat ini. Berulang kali dirinya menghela napas berat. Matanya masih menerawang—tak percaya.

“Apa dirinya akhirnya melukaimu, Marie?” batinnya tertahan.

Langit kelabu menyelimuti pemakaman ini. Hujan tak lagi berani turun untuk menunjukkan dirinya pada bumi, hujan akan berhenti. Namun, hujan itulah yang ‘kan digantikan oleh tangis duka kepergianku.

Perlahan mereka mengiring kepergianku dengan tangis. Di kala senja ingin menaungi, mereka segera beranjak dari makam ini. Namun, tak untuk pria paruh baya itu. Dirinya masih berdiri di tempatnya sambil menerawang pada nisan di hadapannya.

Di saat semua orang telah pergi, dirinya segera tersungkur. Dan tangis pun menggenangi dirinya. Wajah tuanya semakin tampak dalam tangis, bahunya berguncang, dan sesekali dirinya tertunduk menyembunyikan wajahnya.

“Ayah tak ingin kau melihat ayah seperti ini.” katanya lirih, hampir tak terdengar.

“Ayah menyayangimu. Tapi kenapa kau melakukan ini, Marie?” lanjutnya.

“Kau pergi bersama ibumu. Kau meninggalkan ayah sendiri. Kenapa kau tak mengajak ayah juga untuk bertemu ibumu?” suaranya semakin bergetar dan terisak.

“Ayah hanya akan meninggalkan payung kuning ini untukmu. Ayah sudah tak sanggup lagi melihatnya, maafkan ayah..”

Dirinya segera berdiri setelah meninggalkan payung kuning itu yang sudah terlipat. Tangannya terangkat ke atas untuk menghapus air matanya yang akhirnya dibiarkannya jatuh.

Langkahku tiba di kala angin berhembus mengantarku ke sini. Tanganku menggenggam setangkai mawar hitam terakhirku itu. Aku tersenyum memandangi diriku berada dalam pembaringan terakhir. Namaku terukir dan terhias di sana. Namun, aku melupakan kesedihan yang baru saja kutinggalkan.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang