MENGULANG HUJAN

1.2K 24 1
                                    

“Saat sesuatu mulai mencekam. Menerkam diriku—mengikat satu sama lain. Membuat mata ini tertahan berkedip. Dan membuat napas ini berhenti untuk berhembus.” ~ Marie

Bangun dari lelap panjang. Saat langkah ini menapaki hari ini. Sebuah lorong panjang untuk aku kembali masuk di balik salah satu pintu di ujung sana. Namun apa yang membuat suatu langkah terhenti? Sekelumit rasa menunggu untuk terbalas. Menghantarnya untuk sekedar menyapaku.

Setetes kasih mungkin mengejarku saat ini—menyusuri lorong ini juga. Hingga terasa tangan ini bergetar untuk sekedar menopang buku di tanganku. Dan kaki ini mulai ragu dan memperpendek jarak langkah ini—untuk sejenak menikmati.

Namun, angin menghantar sebuah hembusan derap langkah yang berlari mendekat ke arahku. Dan seseorang menepuk lembut pundakku. Membuatku ingin segera menoleh—namun seakan semua menjadi memburam dan kembali terhisap. Ini hanya sebuah mimpi. Mimpi.

Aku membungkuk, menyandarkan kepalaku di atas meja. Dan suara ribut mulai mengisi ruangan ini. Dehaman keras menenangkan suara ribut itu. Aku mulai mengedipkan mataku perlahan, mengerjap beberapa kali untuk segera terbangun. Saat kepalaku terangkat untuk melihat di mana keberadaanku saat ini, aku tersentak.

Bagaimana aku bisa tiba di kampus pagi ini? Aku mulai sejenak berpikir, mencerna setiap kejadian satu per satu yang berputar di benakku saat ini.

“Aku harus tiba lebih pagi.”

“Aku akan pulang lebih cepat hari ini.”

Aku melangkah meninggalkan rumah pagi ini. Dan mendapati pagi buta yang masih gelap untukku melangkah berangkat ke kampus. Untuk sebuah alasan, aku akhirnya mengingat. Aku tak ingin melewatkan adegan pagi ini. Tepat saat ini.

Seseorang melangkah, seakan jalannya tanpa hambatan. Namun suara wanita tua yang berdiri di tengah mencoba menghentikannya.

“Kau terlambat 5 menit. Kau akan ikut kelas berikutnya, bukan saat ini. Kau bisa keluar sekarang.” suaranya lantang, lebih lantang dibandingkan dengan dirinya yang mengajar.

Orang itu terus melangkah, lalu duduk di kursinya. Semua tatapan mata di kelas ini tertuju padanya yang tak menggubris perkataan wanita itu. Lalu semua tatapan ingin menyadarkannya. Wajahnya terangkat karena mungkin ada sesuatu yang terlewatkan olehnya. Dirinya terkejut, lalu mengarahkan pandangan matanya untuk menatapku.

Aku hanya tersenyum, lalu memberi isyarat untuk dirinya segera keluar. Dirinya masih bingung. Lalu tubuhnya terseret keluar meninggalkan kelas. Tepat seperti biasanya, ini terjadi setiap hari. Reyn selalu terlambat. Dan ini menjadi kesempatanku untuk tidak satu kelas dengannya. Bukan kebetulan lagi saat ini, melainkan aku memang yang memilih untuk melakukan ini.

Kusandarkan kembali punggungku untuk merasakan lega pagi ini. Harus aku akui, aku sedang tak ingin berhadapan dengannya. Hingga langkahku kembali menyusuri koridor menuju lokerku. Sebuah suara menderu keras di langit, membuatku ingin menengadah ke langit yang menaung di tengah taman kampus. Gerimis turun lalu disusul sebuah kilat yang menyambar dan kemegahan petir setelahnya.

Aku kembali melihat hujan. Langkahku terhenti hanya untuk sesaat, memandang kerinduan yang di bawanya pada setiap tetes. Bukan milikku lagi, namun untuk mengantarkan pesan cinta malaikat hujanku.

Langkahku tersentak ke belakang, begitu aku melihat Reyn tengah berdiri di depanku. Tatapannya ingin mengatakan sesuatu. Aku tahu dirinya marah padaku, aku tak menyalahkannya.

“Ada apa?” hanya itu yang bisa kutanyakan.

“Apa yang kau pikirkan tentang—”

“Kau seharusnya berterima kasih. Fionagh membenciku, karena itu kembalilah padanya.”

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang