KEMATIAN, CINTA, DAN HUJAN

1.5K 44 0
                                    

“Aku menanggung penyesalan seumur hidupku ini. Memilih melupakan dan tak menggubris kesempatan terakhir yang ternyata penting bagiku. Kematian yang tak pernah kuharapkan.” ~ Reyn

Dedaunan membelai lembut ranting-ranting kering. Angin kering berhembus lembut. Dan nuansa hangat menjadi atmosfer kota ini. Suhu  panas menunjukan dirinya di siang ini. Di akhir penghujung musim hujan ini—musim untukku mengenang, aku ingin menghabiskan waktu terakhirku untuk mengenang semuanya tentang hujan.

Namun, diriku hanya masih tetap terduduk tenang di sudut jalan. Sebuah kursi yang kesepian di sebuah halte yang sedang menyambut musim panas ini. Entah sejak kapan aku terduduk di sini, namun sesuatu membuatku kembali tergugah.

Seorang wanita yang terlihat seumuran dengan ibuku, duduk di sampingku. Mendekap erat tasnya di pangkuannya, mungkin tengah menunggu sebuah angkutan berhenti untuk segera ditumpanginya. Setelah sekian lama, wanita itu mulai tampak gelisah menunggu. Sedang, diriku entah menunggu apa di sini. Wajahnya sedikit panik dan memucat, segera dirinya bangkit berdiri dan mencoba melangkah ke depan—mendekat ke sisi jalan.

Sebuah klakson mobil, membuatnya terkejut. Dirinya terhuyung berjalan mundur. Aku tahu dirinya ingin menyebrang jalan ini. Segera aku mendekatinya, mengulurkan tanganku untuk menopangnya berdiri. Dan dirinya mulai sedikit tenang.

“Apa anda baik-baik saja?” tanyaku mencoba mengetahui keadaannya.

“Oohh.. Terima kasih.”

Matanya terlihat berkilat, selaput bening tepat di matanya—dirinya berusaha keras untuk menahan tangisnya.

“Apa anda masih ingin menyeberang jalan ini?”

“Saya harus menemui anak saya. Saat saya hubungi untuk menjemput saya di sini, dia tampak tak percaya. Waktu saya tidak banyak. Tolong bantu saya.” suaranya terdengar serak dan berat.

Aku tak mengerti apa yang terjadi. Aku bahkan belum mengetahui siapa dirinya, apalagi untuk menemui anaknya untuk dirinya. Aku hanya diam, tanpa bisa menjawab untuk menerima atau menolak permintaannya.

“Kumohon, bantu saya. Katakan padanya saya akan menunggu di sini, sampai dia datang.”

Wanita itu mulai menangis, bahunya berguncang, dan suaranya mulai tersedu-sedu. Tangannya terulur ke arahku, menyerahkan secarik kertas putih. Aku menerima itu, tanpa sempat kuketahui apa isi kertas itu.

“Tolong hubungi dan temui dia. Saya akan kembali duduk di sini, menunggunya sampai dia datang.”

Aku hanya mengangguk, menunjukan rasa iba pada wanita itu.  Menyeberangi jalan menuju telepon umum di seberang jalan. Tanganku terangkat untuk meraih gagang telepon itu, jari telunjukku mulai menunjuk dan menekan angka di sisinya. Dan tak lama terdengar suara nada sambung.

Kepalaku kembali tertoleh pada wanita itu, dirinya masih duduk terdiam. Tatapan berharap memantul ke segala arah pandangannya. Namun, aku tak kunjung mendapati suara dari nomor yang kuhubungi. Sesibuk apa waktu seorang anak untuk ibunya?

Kucoba sekali lagi untuk menghubunginya, namun hasil yang kudapatkan nihil untuk mendapat kepastian ini. Saat aku kembali menyeberang jalan, menuju halte tempat wanita itu masih terduduk. Wanita itu mulai berlari ke arahku. Mengguncang lembut bahuku, saat aku sampai di hadapannya.

“Apa dia akan datang?” tanyanya sebelum aku sempat menjelaskannya.

“Nomor itu tidak aktif. Mungkin ada nomor lain yang bisa dihubungi atau alamat yang biasa ditinggalinya?”

“Dia mungkin sibuk bekerja. Dia bekerja paruh waktu di sebuah kafe kopi. Saya tak tahu nama tempat itu. Sedangkan, selama ini dia tidak pernah tinggal bersama saya, dia memilih tinggal di luar. Kuharap kau mau membantu saya. Waktu saya tinggal sebentar.”

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang