BERLINDUNG PADA MALAIKAT

1K 21 0
                                    

“Bukan dirinya lagi yang rindu, melainkan diriku yang merindukan senyum tipisnya. Aku kembali untuk melindunginya, membawakan sketsa ini hanya untuknya.” ~ Derryl

Aku terbangun oleh sebuah ketukan pintu rumah ini. Dan deritnya saat seseorang segera membukanya. Aku berjalan menuju sisi jendela di kamarku, membukanya perlahan tanpa penasaran akan apa yang sedang terjadi di ruang tamu. Lalu, kurasakan angin musim panas mulai berhembus menyambutku. Dan suara dedaunan yang menggesek batang dan ranting kering mendominasi.

Lalu diriku segera terduduk di kursi tua yang teronggok di sudut kamar ini. Menyandarkan punggungku untuk terebah di atasnya sejenak, mengurut keningku yang berdenyut lelah. Hingga suara dering telepon tua di luar kamar membuatku kembali terbangun dan sadar. Suara derap langkah tegap berjalan menuju arah suara telepon itu dan suara ayahku mendominasi ke seisi rumah.

Aku berjalan menuju pintu kamarku dan membukanya perlahan untuk mengintip keadaan di luar. Sepi kudapati. Apa tamu itu sudah pergi?

Aku berjalan ke luar kamar, menyeret langkahku menuju dapur untuk menyeduh secangkir teh di pagi hari. Ayahku tiba di dapur begitu aku hendak beranjak dari sini.

“Siapa tamu yang datang?” tanyaku penasaran.

“Polisi.”

“Polisi? Apa maksud mereka datang?” Aku terperanjat mendengarnya.

“Mereka meminta izin untuk mengusut ulang kasus kecelakaan ibumu. Seseorang meminta mereka untuk melakukan itu.”

“Dan ayah menyetujuinya?”

“Tentu. Alasan apa yang dapat membuat ayah menolak.” jawabnya dengan sebuah pernyataan yang tak kumengerti.

“Mereka membuatku terlambat hari ini.” geram ayahku.

Aku tiba di ruang tamu dan melihat dua orang berseragam polisi itu duduk di kursi ruang tamu. Salah seorangnya memandang kepergianku, sedang seorang lagi membolak-balikkan halaman kertas di tangannya. Lalu aku segera melenggang pergi, meninggalkan sejuta rasa penasaran akan apa yang ditanyakan kedua polisi itu kepada ayahku.

Aku menyeruput dalam-dalam kopiku. Sementara Shannon dan Fionagh terus berbincang bermacam-macam hal.

“Besok aku dan Marie akan memulai proyek itu.”seru Shannon.

“Baguslah kalau begitu..”

Sementara Reyn mendapati diriku terdiam kebingungan. Di kafe ramai ini—kafe dalam jajaran kedai dalam bangunan kampus, mampu membuat benakku untuk kosong tak berpikir apa pun.

“Kenapa kau mengerutkan keningmu terus, Marie?” tanya Reyn tiba-tiba sambil menyikut lengan Fionagh di sampingnya.

Aku tersentak mendengarnya. Apa yang telah kupikirkan? Bahkan aku tak sanggup menjawabnya.

“Apa kau sakit, Marie?” tanya Fionagh sambil terus memandangku.

Aku dengan cepat menggelengkan kepalaku sambil terus kusesap kopi ini.

Sebuah ketukan sepatu yang berjalan di atas lantai menggema ke sepanjang koridor. Seorang berjalan dengan tatapan mencari-cari. Kerah kemejanya sedikit terlipat tak rapi. Kedua tangannya dijejalkan ke dalam saku celananya. Bayangan orang itu segera mendekat, dan mewujudkan seseorang berkemeja hitam. Senyum lembutnya menjadi sorotan banyak orang.

Dirinya muncul di kafe, dapat kulihat dirinya mencari seseorang. Pandangnya beralih dari satu sudut ke sudut yang lain. Lalu pandangannya berhenti padaku.

“Apa dia mencarimu, Marie?” tanya Shannon tanpa melepaskan pandangannya.

“Apa yang dia lakukan di sini?” tanyaku geram pada dirinya.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang