TERHITUNG SEBUAH WAKTU

1.2K 37 2
                                    

“Meski aku kembali, bukan berarti kau juga harus kembali. Meski semua belum jelas, tentang perasaan satu sama lain. Kau tak akan pernah pantas untukku. Kita berbeda dan tak harus bersama.” ~ Marie

Sebuah amplop cokelat diletakkan oleh ayahku di hadapanku. Entah apa maksudnya. Aku masih memandang amplop itu dan ayahku bergantian. Sementara tanganku masih terlipat di atas meja makan, teh hangat masih terletak di samping tanganku. Sedangkan ayahku mendiamkan kopinya beberapa menit yang lalu.

“Kau tak ingin melihatnya?” tanya ayahku setelah geram menunggu aku yang belum membukanya.

“Apa itu?”

“Bukalah..”

Itu semakin membuat kerutan di kening dan alisku semakin bertautan. Dalam hati aku segera menerka-nerka apa maksud ayah memberiku kejutan. Tangan kananku mulai terangkat untuk meraihnya, membuka perlahan rekatan di bagian atas amplop itu. Ayahku hanya tersenyum untuk menanti aku mengetahuinya.

Kutarik lembaran kertas di dalamnya. Perlahan namun pasti, untuk aku melakukan itu. Tanganku bergetar hanya untuk mengangkat dan membacanya. Senyum ayahku masih terus mengembang. Aku yakin ini yang terbaik untukku.

Sejenak kubaca isinya. Kata demi kata mencernanya menjadi sebuah kalimat. Aku paham maksud itu. Pendaftaran sekolah lanjutan ke unitersitas.

“Aku sekolah?” suaraku terkekeh, tak percaya.

“Bukankah kau senang? Sudah hampir dua bulan kau menganggur, bukan?”

“Ayah tak perlu memikirkan tentang aku.”

“Ayah harus melakukan ini untukmu.”

Dalam hati aku menggerutu. Mengutuk diriku ini. Kenapa harus terjadi seperti ini?

“Datanglah ke alamat itu. Kau akan mengetahuinya nanti.” Ayahku bangkit dari kursinya, bersiap untuk bekerja. Meninggalkan diriku yang masih tak percaya.

Hanya sekali helaan napas, aku segera bangkit dari kursiku. Menyiapkan diriku yang terpaksa untuk melangkah pergi.

Tanganku terangkat untuk mengangkat beberapa buku. Tas dipundakku terasa membebani jalanku. Napasku terengah-engah, untuk bisa melanjutkan jalanku. Langkahku terhenti untuk bisa menyeberangi jembatan kayu ini. Mulai rapuh dan berderit bila langkahku diterpa angin.

Hari ini terlalu cerah yang pernah kurasakan, terlalu indah untuk kulalui hanya rusak karena hal ini. Kudengar di berita suhu hari ini akan mencapai puncak akhir musim hujan, suhu yang lebih tinggi dari kemarin. Apa ada waktu sejenak untukku bertemu dengannya?

Aku membalikkan tubuhku dan mulai melangkah lagi. Dan sebuah kereta uap melintas di jembatan batu di seberang. Suaranya menggema, membuatku tergugah.

Aku menggenapi langkah terakhirku. Hingga kepalaku terangkat untuk memandang tempat itu. Aku berdiri di tengah, menelengkan kepalaku. Kebingungan untuk berpikir. Semua tatapan mungkin bertanya padaku. Siapa diriku?

Langkahku mulai memasuki gedung pertama bangunan ini. Tua namun kokoh dan megah, walaupun sudah termakan usia. Letak yang strategis di jantung kota, menuju tempat-tempat ramai yang terkenal di sini. Hingga seorang wanita mendekatiku yang tengah berdiri kebingungan.

“Wajah baru rupanya.” serunya, sambil memegang pundakku.

“Maaf. Bisa tolong tunjukkan aku di mana ruang koordinator kampus?”

“Kau bisa jalan sendiri dari sini. Ruangannya ada di gedung ini. Mungkin di lantai dua. Aku lupa, aku harus ke kelas berikutnya. Sampai jumpa.”

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang