SEBELUM HUJAN BERHENTI TURUN

984 22 0
                                    

“Tak ‘kan lagi terlihat awan kelabu di penjuru langit, tak ’kan lagi terdengar suara gemuruh hujan. Sebuah kebahagian ‘kan menanti pada akhir penantian rindu.” ~ Marie

Memandang langit di ujung senja. Samar cahaya sang mentari. Semilir angin mulai menyapa. Senja ‘kan berganti malam. Namun, diriku masih saja terduduk di kafe ini. Berulang kali Shannon menatapku heran. Sebuah dentingan cangkir berhasil membuatku tersadar yang sedari tadi menatap ke luar jendela yang berada di sisiku. Mataku mengerjap beberapa kali menyadari keberadaanku. Denting-denting botol di bar menaruh perhatianku padanya.

“9 hari lagi, sebelum hujan berhenti turun..”

“Hujan sering turun akhir-akhir ini, bukankah ini pertengahan musim panas?” tanya Shannon membuatku beralih kepadanya.

“Hmm..” hanya itu balasanku. Membuat Shannon di hadapanku semakin geram.

“Proyek kita lulus. Aku penasaran apa yang akan dikerjalan Reyn dalam proyeknya.”

“Apa akhir-akhir ini dia sibuk?”

“Sepertinya begitu. Fionagh jadi sering kerja sendiri di kafe.” jawab Shannon sambil tangannya mengangkat cangkir kopi dan menyesap kopi keduanya itu.

Esoknya..

Tanganku terangkat untuk membuka lokerku. Dan sesekali melihat waktu untukku mengikuti kelas berikutnya. Sebuah mawar hitam berduri kecil jatuh tepat di hadapanku—di ujung kakiku. Kakiku terentak untuk menendangnya menjauh dari dariku. Segera langkahku memburu untuk meninggalkannya.

Setelah cukup jauh kepalaku tertoleh pada mawar itu lagi. Sesuatu berbeda tengah terjadi pada mawar itu. Sebuah punggung asing berhasil menggenggam sebuah mawar merah di tangan kanannya, sementara mawar hitam itu telah hilang tak berbekas. Pandanganku segera beralih ke depan dan masih berjalan cepat meninggalkan koridor ini.

Pandanganku mengitari kelas mencari sosok itu. Nihil. Dirinya benar-benar tengah menjalani proyek itu. Sebuah seruan di depan kelas membuatku tertoleh dan beralih kepadanya lagi. Hingga kelas usai, sore ini mengantar ceritaku di kafe.

Secangkir kopi panas berhasil membuatku terkesiap dan hampir berteriak kepanasan. Namun sebelum itu Shannon berhasil memelototiku dengan tatapannya.

“Jangan berani-beraninya untuk berteriak di sini. Kau pasti sedang memikirkan sesuatu.” tebak Shannon tepat. Aku hanya menghela napas. Dan mencoba memulai kebohongan.

“Kita jarang bertemu seminggu ini. Apa karena sebentar lagi kita ada ujian semester?”

“Baru saja kemarin kita datang ke kafe ini, Marie. Kau pasti berbohong.” Aku mengakhiri dengan senyuman bodoh, membuat Shannon terkekeh antara geli dan juga kesal.

“Dan seminggu ini juga aku tak bertemu dengan Derryl. Kapan di hari akan hujan?”

Sebuah ketukan pintu berulang kali terdengar olehku. Namun, mataku masih saja ingin terpejam. Pintu kamarku segera terbuka dan itu memaksaku untuk mengerjap. Entah kenapa, langit-langit kamar mulai berputar berlawanan. Diriku masih saja mengerjap, sebelum akhirnya ayahku menyadarkanku.

“Apa yang terjadi, Marie?” tanyanya panik.

Aku memandangnya bergantian dengan langit-langit kamar. Namun dalam sekali kejap semua kembali seperti semula.

“Kau baik-baik saja?” lanjut ayahku.

Aku terduduk sesaat, sebelum akhirnya diriku tersenyum memandang ayahku.

“Aku hanya merasa tidak pernah tidur senyaman ini. Seakan aku akan ingin terus tertidur karena mungkin aku akan merindukan tidur seperti ini, tapi sekarang aku baik-baik saja.” balasku.

Sketsa Rindu untuk HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang