SEBELUM HUJAN BERHENTI TURUN

Start from the beginning
                                    

“Tadi ada temanmu mengunjungi rumah. Ayah katakan padanya kalau kamu masih tidur.”

“Siapa?”

“Entahlah. Dia pria, dia langsung pergi tanpa pesan.”

Aku tak memedulikan tamu itu. Aku seakan ingin hilang ingatan.

Aku berjalan menyusul ayahku yang terduduk di teras samping rumah. Korannya berada dalam genggaman tangannya, matanya menelusuri untuk membaca korannya. Cangkir kopi yang telah kosong berada di hadapannya. Sementara diriku masih ingin terus memandangi kebiasaan ayahku itu. Aku seakan akan merindukan ini juga.

“Kenapa kau memandangi ayah terus?” kejut ayahku tanpa berpaling dari korannya.

“Ayah semakin tua. Apa ayah sedang sakit?”

“Semua orang akan tua, Marie.” Kini dirinya tertawa renyah.

“Aku sering melihat ayah meminum pil obat di kantor ayah. Apa ayah benar-benar sakit?” Aku berhati-hati dalam mengucapkannya.

“Ayah hanya sering pusing, itu juga karena usia dan tuntutan pekerjaan. Kamu tenang saja..”

Akhirnya kuketahui apa yang terjadi pada ayahku. Aku memulainya dengan bernapas lega mendengarnya.

“5 hari lagi, kau ‘kan merasakan keabadian.”

Kakiku menyeret tubuhku untuk berjalan menyusuri jembatan kayu ini. Aku akan merindukan deritnya, dan pula debit air sungai di bawahnya. Di sisinya aku akan selalu merindukan deru kereta uap di atas jembatan batu kokoh itu. Aku akan merekam semuanya dalam memori kenangan. Sebelum akhirnya di ujung jembatan sebuah bayangan diriku dan dirinya terlintas, lalu pudar dalam hembusan angin musim panas.

Langkahku berhenti di ujung jalan raya ini. Trotoar padat menjadi pemandanganku, juga jalanan yang tak membiarkan untuk sepi sejenak. Aku mulai melangkah untuk menyeberangi jalan ini.

“Perhatikan langkahmu dalam menyeberang jalan.” Kalimatnya terngiang dalam benakku.

Kepalaku tertoleh sesaat untuk memperhatikan jalanan ini. Semua aman, aku memulai langkahku. Langkahku berjalan menuju kafe kopi itu. Dan sebuah payung hitam mewah yang tengah berjemur di depan kafe itu menjadi sorotanku. Namun, sesaat itulah halusinasiku.

“Marie..” seru seseorang begitu aku melangkah masuk ke dalam kafe itu.

Fionagh segera berjalan ke arahku. Aku hanya tersenyum memandang sambutan itu.

“Kau benar-benar sibuk, tapi kau cukup ramah pada pengunjung yang baru saja datang.” ujarku memandangnya yang semakin mendekat.

“Pastinya. Atasan tak akan pernah mengizinkanku untuk resign.” Dirinya terkekeh sambil menyeretku menuju bar.

“Tempat duduk semuanya penuh. Kau pesan saja di bar.” lanjut Fionagh.

“Aku hanya ingin menulis pesan di dinding.” kataku membuatnya menghentikan langkahnya.

“Pesan?”

Fionagh mengulurkan kertas putih itu beserta spidolnya ke arahku. Lalu segera dirinya berbaur di meja pengunjung. Dan dengan sigap dirinya mengantarkan cangkir demi cangkir kopi ke meja-meja.

“Aku lelah, Marie.” bisiknya begitu melintas di hadapanku.

Celemek yang selalu melingkar di pinggangnya mulai terpasang tak rapi di sana. Fionagh berulang kali menyeka peluhnya yang menetes di wajahnya. Hingga aku mulai beranjak pergi dirinya masih saja disibukkan.

“Aku pergi dulu..” bisikku padanya yang tengah berdiri di sisi meja, di hadapanku.

Dirinya hanya mengangguk dan tersenyum, lalu dengan cepat dirinya melesat pergi lagi.

“Kapan dunia akan berbalik?” gumamku pelan.

“Aku ingin merindukan dunia ini selalu..” Bukan hal penting untuk dikabarkan, namun tulisanku kembali berbaur di dinding kafe.

Sebuah trotoar sesak menjadi pemandangan untukku petang ini. Dan langkahku berbaur untuk menyesaki trotoar ini juga. Hingga pandanganku turun untuk sejenak memandang taman kota yang tengah sepi.

Langkahku menepi ke sana. Dan sejenak angin kering menyisir dedaunan gugur di jalanan. Perlahan sinar remang lampu tamannya menjadi pendar hangat di malam dingin ini. Aku ingin hadir menikmatinya.

Di atas sebuah meja kayu diletakkannya sebuah jam pasir. Matanya menatap lurus ke arahnya, sementara terangkat sudut bibirnya untuk menyunggingkan sebuah senyuman.

“3 hari lagi, langkahmu berhenti di hadapanku..”

Dibaliknya jam pasir itu untuk memulai waktu. Perlahan pasirnya turun, dan dirinya akan menyadari pasir itu akan berhenti berdesir turun tepat setelah 3 hari berikutnya.

Tiga langkah terakhirku sebelum aku tiba di depan tangga rumahku mulai kugumamkan perlahan. Dan tepat langkahku terhenti di sana. Sebuah jendela di sisi rumah kayu ini masih senantiasa terbuka, dan lampu remang jalanan berhasil masuk ke dalam kamarku. Dan sebuah mimpi berhasil mengantar tidurku malam ini.

“Kau sudah meninggal.”

“Kau bilang ini aman? Aku mati terbunuh.”

“Setidaknya, kau tak lagi buta. Jalanlah ke jalanmu, kau akan mendapati keabadian..”

Dan lagi, mimpi menjadi tanda untukku. Sebuah ketakutan berhasil mengejarku di pagi harinya, kegelisahan menjadi selimutku dalam semalam, dan keabadian menjadi bantalan mimpiku. Entah aku paham dan mengerti pun, aku berharap tak akan mengikuti dan percaya.

“48 jam lagi—”

Dan seperenam jam pasir itu telah menunjukan waktu setengah hari.

Sebuah hantaman keras berhasil membuka jendela kayu di kamarku. Perlahan angin basah berhasil berhembus dan menerbangkan beberapa sketsa kasar di atas meja kamarku. Dan dalam sekejap semua tampak berantakan di hadapanku.

Langkahku berjalan menuju ke arah jendela, tanganku terulur untuk membukanya dengan benar. Lalu tanganku memungut kembali sketsa-sktesa yang bertebaran itu untuk kembali terkumpul.

Di tengah siang ini, langkahku terhenti pada pertengahan jembatan kayu ini. Mataku menatap diam jembatan batu kokoh di seberang sana. Dan sebuah angin basah kembali berkutat di sekitarku. Mataku terpejam sesaat merasakan dinginnya yang menyentil kulitku. Pikiranku tertuju pada sebuah pantai berpasir putih itu, air biru kehijauan mengejar ke bibir pantai itu. Aku mengenang sebuah ketenangan.

Deru kereta uap yang melintas di seberang sana, membuat mataku kembali terjaga untuk tak terlewat melihatnya. Gesekan antardahan pada jajaran pohon pinus di bukit menjadi melodi yang melengkapi. Aku sejenak berpikir, hingga aku menemukan potongan kenangan itu. Sebuah kecelakaan tragis yang tak ingin kukenang kembali ingin mengingatkanku. Aku kembali takut.

Entah tahu atau tidak, aku merasakan bulir demi bulir air mataku menetes dalam balutan duka. Hatiku bergetar hanya dengan mengingat kenangan itu, bibirku bergetar dan lirih ingin berteriak. Namun sebuah pandanganku memerangkapku dalam tatapan lekatnya, seakan dirinya ingin terakhir kali melihatku. Dirinya lenyap dalam hembusan angin kencang yang mampu menderitkan jembatan kayu pijakanku.

Lalu pertanyaan yang kurindukan selalu, kapankah hujan akan berhenti? Aku merasakan inilah sebuah kesalahan. Aku tak mengenang ibuku dalam kematian, namun hujanlah yang kukenang selalu dalam perjalananku di musim panas ini. Ibuku hanyalah sebuah awal. Atau tanpa sadar dirinya hanya sebuah perumpamaan dan tanda.

©FYP

Sketsa Rindu untuk HujanWhere stories live. Discover now