UNTAIAN RINAI HUJAN

Start from the beginning
                                    

“Jawab aku. Apa kita sama?” suaraku mulai meninggi.

Hujan sesegera mungkin mengentikan dirinya, memberi jeda sejenak sebelum sebuah angin basah menerpa diriku yang beku kedinginan.

“Tidak. Aku tak pantas untukmu, aku tak sama denganmu. Tapi—” kalimatnya menggantung begitu saja.

“Kau egois. Kau melukai orang lain demi diriku.”

“Tapi aku memang benar-benar mencintaimu, Marie.”

“Lalu, apakah ini bisa sejalan seandainya aku juga mencintaimu?”

Sebulir air mata menyambut pertanyaan itu. Dirinya mendekat, menyeka lembut air mata yang menetes membasahi pipiku. Dan perlahan tangannya melepaskan payung kelabu itu dari tangannya.

Dirinya semakin mendekat, dan kedua tangannya dengan lembut terangkat menyentuh leherku. Lalu perlahan dirinya merapatkan dirinya dan tubuhnya setengah berdiri menunduk. Dahinya mulai menempel pada dahiku. Digeseknya lembut ujung hidungnya dengan ujung hidungku. Dan bibirnya bergetar mendekati bibirku.

Dan tak lama sebuah kecupan kurasakan. Bibirnya setengah terbuka dan mengulum bibirku dengan lembut. Mataku terpejam dan tanganku terkepal kuat di sisi tubuhku. Sebelum akhirnya kuluman itu dihentikannya, dirinya memberi jarak sejenak.

“Kau tak punya pilihan untuk mencintaiku..” suaranya berbisik tepat di telingaku.

Dentingan botol di depan bar menjadi perhatiannya. Beberapa pemuda terduduk di hadapan bar sambil sesekali meneguk minumannya dan saling berbicara satu sama lain. Dipandanginya cangkir kopinya yang mulai kehilangan uapnya, dan sekali dirinya menghela napas berat.

Pikirannya berkelana ke depan. Dan perlahan ingatannya menengok ke belakang pada sebuah kejadian kecelakaan malam itu. Lalu perlahan pikirannya melihat ke masa depan. Dirinya tersenyum pahit dan penuh arti. Dan tanpa sebab, payung hitamnya yang bersandar manis jatuh tergeletak ke lantai.

“Kau akan bahagia..” gumamnya perlahan.

Sebuah laju sepeda memecah jalanan di antara gedung-gedung lapuk di hadapannya. Dipandanginya langit timur di langit senja ini, didapatinya sebuah paduan warna pelangi di langit. Tanpa terasa dirinya tersenyum menerpa dinginnya angin petang yang mulai merayapi.

Laju sepedanya kembali terhenti di sebuah taman kota. Didapatinya punggung bermantel hijau toska tengah terduduk di bangku taman itu sebelum akhirnya dirinya meneriakkan sebuah nama itu sambil menuntun sepedanya mendekat.

“Fionagh..” tegurnya lembut.

Wajahnya tertoleh memandangi kedatangan Reyn. Mantel cokelat tua pemberiannya dikenakan dirinya saat ini.

“Hujan tak menyurutkanmu, hah?” candanya sambil mendudukan dirinya di sisi Fionagh.

Dipandanginya lekat gadis yang duduk di sisinya. Binar dalam sorot matanya, mengisyaratkan sesuatu. Dan perlahan sudut bibirnya terangkat, untuk sekedar melengkung memberikan sebuah senyuman.

“Kenapa kau tersenyum begitu di hadapanku?” candanya lagi.

“Reyn..” panggil gadis itu. Kepalanya terdongak menatap langit, lalu pandangannya turun menatap Reyn di sisinya.

“Aku bahagia. Kau tahu hujan hampir membasahi tubuhku.” balas Fionagh sambil terkekeh geli.

“Kaulah hujan yang berhasil menghujani hatiku oleh cinta.” gumam Fionagh samar.

Sebuah genggaman erat tangan itu berhasil menyalurkan kehangatan itu dalam dirinya. Pandangan mereka saling berbicara satu sama lain. Dan keheningan sebuah malam mulai menjalari langit ini. Dan perlahan sebuah sorot remang lampu taman menyinari sebuah kegelapan. Rinai hujan kini berhasil menguntai sebuah manik cinta menjadi indah terpajang.

Langkahku berderap menuju ruang kerja ayahku. Langkahku berderit di atas lantai kayu ini, suaranya tak mampu mengalahkan rasa takut dalam diriku. Hingga di depan pintunya, tanganku bergetar mengangkat cangkir kopi miliknya.

Pintunya sedikit terbuka, memberi celahku untuk mengintip ke dalam. Dirinya terduduk di kursinya, tangannya terangkat untuk meneguk sebuah pil obat di tangannya. Hingga akhirnya selesai, tanganku terangkat untuk mengetuk pintu di hadapanku. Inilah sebenarnya yang harus kulakuan.

“Apa aku mengganggu ayah?” tanyaku berhati-hati, sambil melongokan kepalaku ke dalam.

Dirinya samar menganggukan kepalanya pelan. Segera tanganku perlahan mendorong pintu di hadapanku. Kakiku bergetar menuntun langkahku untuk mendekat ke arahnya.

“Aku membawakan kopi untuk ayah.” ujarku bergetar.

Dirinya hanya mengurut keningnya, lalu mengangguk pelan. Tanganku terulur untuk meletakkan cangkir kopi itu di hadapannya.

“Maafkan aku atas kejadian tadi pagi.” kataku lirih padanya.

Lagi-lagi dirinya hanya mengangguk pelan. Sempat ingin kupertanyakan apa yang terjadi pada dirinya, namun segera tangannya terangkat menyuruhku keluar dari ruangannya. Segera langkahku terseret keluar meninggalkan kesendiriannya.

Diriku tersungkur di sisi tempat tidurku. Tanganku terangkat untuk mengurut keningku yang perlahan pening kurasakan. Pikiranku berjalan melewati waktu dan berhenti pada sebuah kejadian.

Bibirnya dengan lembut menyapu bibirku dan samar napasnya memburu namun hangat terasa di wajahku. Dan kata-katanya yang berbisik di telingaku terngiang dalam benakku bagai sebuah mantra.

Esoknya..

Langkahnya terhenti pada sebuah meja di sisi jendela kafe ini. Bibirnya setengah terbuka, ingin memulai salam dan menanyakan pesanan. Namun semua kalimatnya tertelan begitu saja. Seorang berkemeja hitam di hadapannya mendongakkan kepalanya, menatap wajahnya yang terkejut.

“Ada yang ingin aku katakan padamu.” katanya dengan lembut membuyarkan lamunan pelayan di hadapannya itu.

Segera dirinya terduduk di hadapannya. Lalu perlahan mulai menatapnya dengan serius.

“Ini bukan waktu istirahatku, jadi cepatlah..” jawab Reyn.

“Baiklah. Aku tak tahu jika ternyata ini sebuah kesalahpahaman. Tapi maaf atas apa yang terjadi di pertemuan pertama kita.” lanjut Kyle.

“Lalu?”

“Aku menyayangi Marie, aku tahu kau pun dulu sama. Aku menyuruhmu untuk mengalah karena ada seseorang yang jauh mencintainya. Dia akan melakukan apa pun demi mendapatkannya, melukai seorang sekalipun bisa dilakukannya.”

Perlahan Reyn mulai menundukkan kepalanya. Napasnya tercekat hanya mendengar kalimat-kalimat itu. Pikirannya memikirkan seorang di hadapannya. Kepalanya terangkat lagi, menunggu kelanjutannya.

“Apa kau dilukainya?” tanya Reyn semakin tercekat.

Kini giliran Kyle yang tertunduk. Matanya mulai berair, dan sebuah helaan napas berat terdengar.

“Karena itu aku tak ingin kau mengalami itu dulu. Kau memilih yang tepat.”

“Kau mengalah padanya?”

“Ya. Karena aku juga mencintai Marie. Aku tahu, dirinya akan bahagia..”

Akhirnya langkahnya meninggalkan kafe itu. Sebuah pernyataan berhasil diungkapnya hari ini. Dirinya tersungkur di tanah dengan segera. Tak lagi terlihat payung hitam mewahnya itu. Namun sebuah mawar hitam berduri kecil itu terdapat di genggaman tangannya.

Dirinya terisak dalam tangis akhirnya. Tangannya terkepal kuat menggenggam mawar hitam itu. Kemeja hitamnya mulai terlipat berantakan. Matanya terus tergenang oleh tangis, hingga dirinya mulai meninggalkan kesepian malam dengan kepergiannya.

“Aku tak akan menjemputmu..”

Begitulah hujan ingin teruntai indah. Di kala mereka bahagia, aku menyadari seorang tersakiti di sini. Dirinya tak akan pantas menerima satu rinai pun milik hujan, dirinya tak akan pantas tersakiti dan terluka seperti ini. Namun, hujan menguntainya menjadi satuan padu.

©FYP

Sketsa Rindu untuk HujanWhere stories live. Discover now