Aku kembali berjalan melewati dirinya yang masih terus mematung. Dapat kulihat Reyn mencoba menghela napas berat. Namun, langkahku kembali tersentak ke belakang begitu melihat Fionagh dan Shannon berada di hadapanku. Aku hanya mencoba menatap sisi lain, melangkah melewati mereka yang masih terpaku.

“Aku memergoki mereka.” suara sendunya berbaur dengan kesunyian dan ketegangan ini.

Reyn tak mengubah posisinya, dirinya masih memunggungi Shannon dan Fionagh. Dan diriku telah seluruhnya lenyap dari kejeratan hadapan mereka. Fionagh menatapnya nanar, dan mulai melangkah namun tertahan oleh sebuah sergahan dari Shannon.

“Dia tak melakukannya.” sergahnya dengan lembut.

Dan kali ini Fionagh benar-benar meninggalkan Reyn. Disusul Shannon di belakangnya, namun berjalan melewati sisi yang lain.

Aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku, namun langkahku terus terseret berjalan memecah hujan. Hingga teriakan itu mulai tak lagi terdengar, seseorang mendengus kesal di sampingku.

“Kenapa kau tak berhenti, Marie? Aku memanggilmu.” suara kesalnya membuatku terdongak.

Kulihat Shannon berdiri di dekatku, melindungi tubuhku yang terlanjur basah bersama dirinya di bawah payung merah miliknya. Aku hanya mencoba mengelak dan menghindari tatapan dengannya.

“Aku harus pulang.” Kakiku memulai langkah ini, meninggalkan Shannon yang tengah berdiri terpaku melihatku pergi.

Dengan cepat tangannya berhasil meraih tanganku, membalikkan tubuhku. Kini payung merahnya berpindah ke tanganku, dan dirinya mulai mendorong diriku lembut untuk kembali melangkah.

“Shanne..” elakku tertahan.

“Pulanglah. Temui aku lagi besok.”

Kini Shannon berlari menuju halte terdekat, melindungi tubuhnya agar terhindar dari hujan. Aku hanya bisa menerima payung itu, aku tak bisa memaksanya. Langkah ini tertuntun lembut menyusuri jembatan, menyeberangi sungai yang berdebit besar. Dan tersenyum melewati bayangan yang ada di sisiku, diriku bersama Derryl.

Dentum itu mulai lagi terdengar, sakit dan sesak di dada. Tawa yang pernah ada terasa cepat lenyap, berganti sebuah perasaan tak tahu kapan yang pernah disebutkan sebagai takut. Namun, lama-kelamaan berganti menjadi sebuah dentingan lembut menghantar diriku untuk segera tersadar dari sebuah mimpi.

Baru kusadari kemarin aku mengulang hujanku yang pernah terjadi. Diriku yang terkejut untuk pertama kali bertemu dengannya, dan sebuah kisah yang membuatku harus memahami. Lalu percaya bahwa kisah itu seharusnya tak kumiliki apalagi kujalani.

Aroma kopi di pagi ini terlambat untuk menusuk indera penciumanku. Atau diriku yang terlambat untuk mencium kehangatan yang dibuatnya. Aku terseret ke beranda di samping rumah, aku tak mendapati siapa pun di sana. Dan di musim panas ini semua dimulai.

Aku terlambat bangun untuk menghindar di pagi ini. Sedikit dehaman wanita tua di depan membangunkan lamunanku yang berderet runtut indah. Lalu sebuah tatapan menatapku lekat.

Reyn berlari cepat, beradu cepat dengan lantai ini, menabrak bahu-bahu yang terlintas. Dan terdengar jengah begitu dirinya sesekali meneriakkan namaku. Aku menyerah dan berhenti saat ini. Kudengar napasnya terengah-engah begitu aku membalikkan tubuhku untuk menatapnya.

“Apa lagi yang kau inginkan dariku?”

“Kau benar tentang perasaan ini. Aku memang masih mencintai Fionagh, tapi kenapa kau baru hadir di saat seperti ini. Memahamiku lebih dari siapa pun, itulah dirimu.” suaranya parau untuk menyusun kalimat ini.

Sebuah tatapan memerangkapku dan Reyn yang tengah berdiri kaku. Membungkam dalam diam setiap pembicaraan yang kami mulai. Dan lagi, aku membalas pernyataan itu tanpa sedikit pun untuk menatapnya.

Sketsa Rindu untuk HujanWhere stories live. Discover now