- 28 -

1.4K 160 5
                                    

3 Hours Before - Malya

Malya benar-benar tak dapat berkutik kala Riga terjatuh di hadapannya. Tubuhnya gemetar.

Bahkan, ketika manajer Riga yang panik dan mengangkat Riga, Malya tetap tak dapat berkutik. Janu dan kedua kakaknya pergi keluar ruangan begitu saja. Tak memedulikan keadaan Riga yang cukup mengkhawatirkan.

Malya dapat mendengar manajer dari Riga menelepon rumah sakit untuk memanggil ambulan tak lama setelah ia menidurkan Riga di atas sofa.

"Kamu tau dimana Tuan Naviel?"

Gadis itu tersentak. Dengan kikuk, ia menggeleng.

Ah, bodoh.

Padahal ia tahu Naviel sedang di Jepang sekarang.

Semua terjadi begitu cepat kala ambulance datang dan kedua pria itu membawa Riga keluar ruangan dan meletakkan tubuhnya di atas brankar.

"Kamu ikut Riga ya? Saya akan menyusul nanti. Tolong ya."

Malya mengangguk. Tatapannya begitu kosong. Bahkan ia tak sadar jika kakinya melangkah masuk ke dalam ambulan mengikuti brankar yang membawa Riga.

Perjalanan tak terasa sama sekali. Malya benar-benar kosong. Ia tenggelam dalam pikirannya. Apakah ini salahnya? Apakah ia salah membawa Riga ke tempat ini?

Pintu ambulance di buka. Para  rumah sakit menarik brankar Riga. Dan Malya ikut turun dengan langkah gontai. Ia benar-benar tak dapat berpikir.

Gadis itu duduk di ruang tunggu IGD dengan tatapan kosong. Ia hanya dapat terus menerus menghela napas.

Sedetik kemudian, air mata mulai mengalir di pipinya. Dadanya terasa sesak. Apakah, Riga baik-baik saja?

Gadis itu menarik ponsel yang berada di dalam tas. Men-dial nomor Naviel berkali-kali yang berujung missed call.

Ah, Malya frustrasi rasanya.

Tepukan pundak dari jemari yang besar mengejutkannya.

"Janu?"

Janu mengangguk samar. Ia menatap nanar wajah Malya yang basah akan air mata. Gadis itu tak peduli. Ia memeluk Janu erat. Menangis hingga membasahi kausnya. Bahkan, Malya merasa sulit untuk bernapas.

"Ini ... salahku?"

Janu menggeleng kala suara tersengal Malya terdengar. Jemarinya beralih mengusap surai gadis yang awalnya begitu menyebalkan baginya.

Jika ada pihak yang harus disalahkan, maka, ini salahnya. Bukan salah Malya.

"A-aku udah telepon Kak Naviel, tapi belum di angkat." Malya lagi-lagi berujar sembari mengusap air mata yang telak membasahi kaus Janu.

"Iya, sama."

Janu juga sudah menghubungi Naviel berkali-kali. Namun, tak ada jawaban sama sekali.

"Memangnya, Kak Viel ke mana?"

"Jepang." Malya menjawab singkat. Lantas, Janu menghela napas--mengerti.

Malya mulai tenang. Gadis itu menatap Janu dengan lamat. "Kamu kok boleh ke sini?" Gadis itu bertanya-tanya. Pasalnya, kedua kakak Janu yang baru tadi Malya temui, bukanlah tipe orang yang akan membolehkan sang adik mengunjungi Riga--keluarga mereka yang telah gagal.

Janu mengembuskan napas. Ia mengedikkan bahu. "Aku udah lepas dari mereka. Sekarang, statusku sama kayak Kak Riga. Terserah aja, aku juga udah capek."

Jawaban Janu membuat Malya tersentak. Gadis itu mengalihkan pandangan dengan kikuk. "M-maaf," jawabnya gugup.

Janu menatap Malya penuh tanda tanya. "Gak usah maaf. Bukan salah siapa-siapa."

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang