- 1 -

2.5K 252 9
                                    

"Ga, adek lo tampil jadi perwakilan maba anak musik. Fyi doang ya, gak usah dateng gak papa. Gue ngasih tau doang. Yaudah, gue kelas dulu, bye."

Riga tersenyum tipis membaca pesan dari sohibnya--Naviel yang ternyata sudah diterima sejak satu jam yang lalu. Pemuda itu baru saja menyelesaikan kelas dan hendak menuju ke kantin jika ia tidak memeriksa pesan masuk.

"Riga! Ntar sore gue kirim ya ppt nya!" Riga menoleh, menatap seorang lelaki berambut cepak, lantas mengacungkan jempolnya.

Kaki jenjang Riga melangkah. Dengan tote bag yang disampirkan pada bahu, dan airpods yang melekat pada salah satu telinga, sudah menunjukkan bahwa Riga cukup modis. Gaya berpakaiannya pun tampak serasi dengan paras tampan dan kalem.

Setiap Riga melangkah, para gadis yang ia ketahui merupakan mahasiswi kelas A pada prodi yang sama dengannya, berbisik. Bukan. Ini bukan seperti yang mereka pikirkan perihal menjadi anak populer. Mereka bergosip.

"Itu si Auriga, si anak kelas B, katanya gak bisa ngomong loh!"

"Bisu?"

"Sumpah? Dua semester gua di sini, gua baru tau."

Mereka terkesiap tatkala Riga menoleh dan malah melempar senyuman ramah pada mereka.

Riga sudah terbiasa. Semenjak vonis kelumpuhan pada pita suaranya yang ditegakkan satu tahun lalu, ia sangat terbiasa dengan hal-hal seperti ini.

Dia tidak bisu. Hanya kehilangan sebagian besar fungsi pita suara. Ia masih dapat berbicara meskipun dengan susah payah. Selama setahun belakangan, terapi yang kerap kali ia jalani belum membuahkan hasil. Karena, ada saat dimana dia begitu 'jatuh' akan kenyataan yang menimpa dan enggan untuk melanjutkan terapi. Bahkan, keluarganya tak segan untuk mengusir seorang Auriga karena kekurangannya.

Langkah Riga terhenti tepat di belakang kerumunan. Terdapat panggung yang menjadi pusat perhatian mereka.

Suara lembut dan merdu terdengar. Netra Riga melebar dan menelisik. Memfokuskan pandangan pada panggung. Seulas senyum tipis terlukis.

Itu adiknya.

Sudah setahun semenjak mereka terakhir bertemu. Pemuda itu semakin tinggi, garis wajahnya pun menjadi kian tegas.

"You did great." Seandainya suara Riga dapat terdengar. Ia tak segan berjingkrak sembari meneriakkan nama sang adik dengan sekuat tenaga. Berkata bahwa 'you did great, i'm so proud'. Namun, yang dapat Riga lakukan hanya membuka mulut, mengucap kata tanpa suara, dan tak dapat melepas pandangan dari sang adik yang tampil begitu memukau.

Bahkan, adiknya berhasil masuk ke dalam prodi musik di kampus ini. Prodi dan kampus yang dulu begitu Riga damba karena ketenarannya seantero negeri. Riga pun mendapat beasiswa untuk masuk kesana. Namun, sayang sekali. Tuhan memiliki rencana lain. Ia memang tetap masuk ke dalam kampus ini, tetapi bukan di jurusan musik yang dulu didamba.

Riuh tepuk tangan penonton dan suara sang adik yang kini memperkenalkan diri, mengalihkan Riga dari lamunan.

"Perkenalkan, saya Janu Gino Sagara. Maba prodi musik. Terimakasih atas dukungan dan kesempatan untuk bisa tampil disini." Janu tersenyum lebar dan membungkukkan tubuh. Lantas, tepuk tangan riuh kembali terdengar.

Netra Riga kembali menatap Janu yang kini tampak begitu berbeda. Namun, lagi-lagi Riga sadar. Dunia mereka sudah tidak sama. Ia sudah bukan bagian dari dunia tarik suara.

Mute ✅Where stories live. Discover now