- 8 -

1.4K 175 28
                                    

Naviel melangkah sembari menghentakkan kaki kuat-kuat. Ia kesal. Setelah mendengar—-lagi—-cerita Riga tentang Malya semalam, darah Naviel mendidih.

Ia tak habis pikir kenapa gadis bernama Malya itu terlalu ikut campur. Bahkan, takaran ikut campurnya sudah melebihi batas.

Mungkin wajar, Malya pernah mengenal Auriga sebagai Reknath. Ia mungkin kecewa karena idolanya sudah lama tidak terlihat di depan publik. Namun, itu sudah berbeda. Yang ia kenal sekarang Auriga. Bukan Reknath yang biasa ia tonton di media sosial, ataupun penampilan live nya di sekolah-sekolah dan beberapa panggung.

Naviel mendengkus. Ia hanya tidak ingin Riga kembali merasa jatuh dan depresi seperti saat awal-awal vonis penyakitnya ditegakkan.

Sudah satu tahun berlalu, Riga sudah dapat menerima kehidupan barunya. Menjadi penulis lirik dan terkadang komposer pada lagu yang akan dirilis para penyanyi di agensi tempat Riga dulu bekerja. Well, dapat di bilang, mantan junior dan senior Riga.

Dan sudah hampir satu tahun pula Riga tidak kambuh. Kelumpuhan pita suaranya membuat kinerja paru-paru Riga menjadi tidak maksimal. Dan itu sangat berpengaruh ketika Riga memaksa untuk terus berbicara atau bahkan bernyanyi.

Naviel tidak menyangka efek dari sakit itu tidaklah main-main. Maka dari itu, Naviel merasa kesal pada Malya yang kembali membuat luka lama Riga terbuka. Membuat sohibnya kembali jatuh dan terbayang akan masa lalu.

Tidak, tidak hanya Malya. Janu juga. Adik dari Riga yang baru masuk di kampus yang sama dengan mereka juga kerap membuat Naviel kesal.

Kenapa? Alasannya mudah. Perkataan Janu ketika Riga di usir dari keluarganya sungguh membuat mental sohibnya hancur seketika.

Meskipun, ia juga tahu bahwa Janu hanya diperalat. Naviel tahu Janu hanya diancam oleh keluarganya. Namun, itu tidak menghapus rasa kesal dan muak Naviel pada pemuda itu. Karena seiring waktu, Naviel merasa Janu melakukan itu karena ia ingin. Bukan karena diancam lagi.

Pemuda itu mengacak surainya. Ia teringat bahwa Riga menceritakan perihal Malya yang sepertinya cukup sering bertemu dengan Janu.

Naviel hanya terheran. Sejauh apa rasa penasaran gadis itu sampai sering bertemu dengan Janu? Untuk menanyakan Riga?

Naviel mencibir. Malya tidak tahu hubungan Janu dan Riga sudah berbeda. Dan Malya tidak tahu apa yang terjadi di antara mereka.

"Ciye mas nya udah rapi, mau kemana nih?"

Naviel menatap nyalang pada sosok yang melayang di samping. "Ngapain lo ngikutin gue? Gak penting sumpah. Main sama temen sejenis lo sana!"

"Ih, mas nya galak, kabur ah."

Diiringi tawa cekikikan, Naviel segera mengusap wajahnya. Kenapa hidupnya selalu tidak normal?

Tidak, Naviel tidak mengutuk keistimewaannya dapat melihat 'mereka'. Hanya terkadang, 'mereka' seakan merasa dekat dengan Naviel.

Manusia sudah tidak ada harga dirinya lagi.

Naviel menghentikan langkahnya. Ia dapat melihat Malya yang sedang bersenda gurau dengan temannya.

Ah, beruntung sekali. Memang sedari tadi Naviel berpikir untuk mencari Malya dan mengajaknya berbicara. Tak di sangka, all of sudden, ia bertemu di sini. Di dekat cafè mahasiswa.

Naviel mengembuskan napas kasar. Ia lantas melangkah--mendekati Malya.

"Malya?" Naviel menepuk pundak Malya pelan. Sontak, gadis itu terkejut. Ia mengernyit.

"Kak Naviel ... 'kan? Ada apa ya?" tanyanya—-sedikit meragu.

Naviel tersenyum ramah. Ia menatap teman Malya. "Temennya saya pinjam dulu ya, Dik." Tanpa aba-aba, Naviel menarik lengan Malya. Sedangkan Malya hanya dapat mengikuti kemana Naviel melangkah.

Mute ✅Where stories live. Discover now