- 18 -

1.1K 153 8
                                    

Tepukan pada pundak Riga membuat pemuda itu terkejut. Tampak Naviel tersenyum tipis padanya.

Netra Riga beralih pada Janu yang masih menatapnya. Seakan berharap sesuatu darinya.

Sungguh, Riga terkejut kala Janu kembali memanggilnya kakak. Ia benar-benar tidak salah dengar, bukan? Sudah sekian lama semenjak terakhir kali Janu memanggilnya kakak. Sebelum vonis yang membuatnya tak bisa bernyanyi ditegakkan, juga sebelum ia dicampakkan oleh keluarganya.

"Kakak gak papa, 'kan?"

Janu mengulangi perkataannya. Riga yang sempat melamun lantas tersenyum kikuk dan mengangguk samar. Rasa takut itu masih ada. Meskipun Janu sudah memanggilnya kakak lagi, tetapi itu tak dapat melunturkan rasa takut dan kecewa yang telah mengungkungnya selama setahun belakangan.

"Oke. Lo mau ngomong apa? Yakin nih di parkiran aja?" tanya Naviel sembari mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Dari ekor mata, ia menangkap sosok lelaki yang mengikutinya. Namun, ia tak mungkin berkata bahwa ada hantu di saat seperti ini, bukan?

"Gak papa, Kak Viel. Aku cuma sebentar aja." Janu menatap sang kakak sendu. Kakaknya itu tak berani menatapnya. Pandangan Riga dialihkan pada mobil Naviel. Seakan ingin segera masuk dan pergi dari sana.

"Maafin Janu, Kak Riga, baru bisa ketemu sekarang. Tapi Janu juga gak bisa terang-terangan ketemu kakak, atau ayah sama ibu bakal murka." Janu menghela napas. Menjelaskan semua hal itu hanya membuat perasaan Riga semakin teriris. "Aku khawatir sama keadaan kakak setelah semuanya terbongkar. Kenapa bisa kebongkar? Jangan bilang karena Malya?"

Riga tampak menggigit bibir bawahnya. Ia sama sekali tak ingin menatap maupun mendengarkan perbincangan mereka. Naviel tak dapat berbuat apa-apa selain menatap Riga dengan khawatir.

Naviel menggeleng. "Ini salah gue. Gue terlalu kebawa emosi karena Malya yang terus-terusan ngikutin Riga, neror dia soal alasan kenapa tiba-tiba berenti nyanyi. Jadi, gue kasih tau. Masalahnya, gue kasih taunya terlalu nge-gas. Gue teriak, dan ... Yea, you know lah, kelanjutannya." Pemuda itu mencetak senyum kecut. Antara mengakui kesalahan dan menyalahkan dirinya sendiri.

Janu tercekat. Ia menatap Naviel dalam-dalam. "Bukan salah Kak Viel. Malya dan aku juga bertanggung jawab atas semua ini. Aku gak kasih tau Malya alasan kenapa aku menjauhi Kak Riga. Aku juga ... malah bilang ke Malya soal aku sama Kak Riga yang--"

"Sudah." Suara Riga yang begitu lirih menginterupsi perkataan Janu. "Gak papa. Cukup, Janu."

Riga menarik Naviel untuk segera masuk ke dalam mobil. Naviel yang di paksa seperti itu hanya dapat tersenyum dan berkata 'maaf' pada Janu. Meninggalkan Janu yang menatap kepergian mereka dengan pahit.

"Kakak bahkan gak mau manggil aku 'dik' lagi." Janu berujar lirih seraya tersenyum miris. Ia merasa begitu bersalah.

Kapan, Riga dapat menerima keberadaannya kembali?

Janu terkekeh. Seketika, ia merasa terlalu naif.

Ponsel Janu berdering. Mengalihkan pikirannya seketika. Dengan segera, Janu mengangkatnya tanpa melihat nama sang penelepon.

"Janu! Hari ini bisa datang ke kantor?! Saya punya berita bagus untuk kamu!"

Suara itu adalah suara milik manajer barunya. Dengan segera, Janu mengangguk.

"Oke, saya segera ke sana."

Janu memutus sambungan. Tanpa basa-basi, ia segera berangkat menuju kantornya.

Sepanjang jalan, Janu hanya melamun. Memikirkan apa yang akan disampaikan oleh manajernya? Ini merupakan kabar dan job pertama baginya di agensi baru.

Mute ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang