- 15 -

1.2K 167 14
                                    

Atmosfer di dalam mobil begitu canggung. Naviel menatap jalan dan Riga bergantian. Dari ekor matanya, ia menangkap Riga yang begitu gemetar. Napasnya terengah. Seakan kembali mendapatkan serangan panik seperti dahulu.

Naviel menghela napas berat. Ia menyesali perkataannya tadi. Seharusnya ia mengajak Malya ke tempat yang tidak banyak orang dan meminimalisir rahasia itu tersebar.

"Viel, aku takut." Suara serak dan gemetar Riga mengalihkan atensi Naviel. Akhir-akhir ini, sohibnya terlalu sering mengeluarkan suara. Itu terlalu beresiko bagi kesehatannya.

"Jangan ngomong dulu, Ga." Naviel mendesah pelan. Ia khawatir. Naviel menatap sohibnya nanar. Apa yang harus ia lakukan?

Riga mengangguk samar mendengar perkataan Naviel. Ia begitu frustrasi tentang apa yang baru saja terjadi. Sebenarnya, tidak salah jika ia di cap bisu atau apapun itu, asal identitas aslinya sebagai Reknath tidak kembali terbongkar. Ia lelah menjadi sorotan publik. Selain itu, bukankah khalayak tidak akan terima jika penyanyi yang dulu terkenal tiba-tiba saja dikabarkan tak bisa bernyanyi?

Ah sial. Terlalu banyak pikiran buruk yang menghantui dirinya. Tadi, di kantin, Riga tidaklah tuli. Ia dapat mendengar bisikan orang di sekitar. Mereka bertanya-tanya--mencari kebenaran. Mencemooh nya diam-diam.

Jemari Riga mengacak kasar surai hitam miliknya. Lantas, menarik-nariknya pelan. Air mata perlahan mengalir. Tubuhnya kian gemetar. Segala ekspektasi buruk mulai menghantui.

"Jangan biarkan mereka tau jati dirimu sebagai Reknath."

Riga menghalau air mata yang mengalir kian deras. Ia terlalu panik. Ia terlalu depresi. Ia ... terlalu takut akan keadaan selanjutnya.

Yang terakhir Riga ingat, hanyalah teriakan panik Naviel yang begitu memekakkan telinga.

........[🎶]

Janu membanting sweater yang ia kenakan pada dinding dengan keras. Mengabaikan orang yang berlalu-lalang melihatnya heran. Napas Janu memburu.

Kesal. Kesal yang ia rasakan.

Ia melampiaskan segalanya di sini. Di atap gedung prodinya. Tempat yang cukup sepi. Mengingat teman-temannya pasti masih ada kelas.

Hanya ia yang nekat kabur, mengunci pintu penghubung gedung dengan atap.

"Kenapa harus kebongkar sekarang?!"

Janu menatap langit yang perlahan menjadi gelap. "Apa salah kakak?"

Matanya memanas. Ia tak siap dihadapkan dengan semua ini. Tiba-tiba saja keadaan berubah. Bagaimana jika keadaan Riga memburuk? Apa yang keluarganya lakukan jika mereka tahu akan hal ini?

Janu menggigit bibir bawahnya dengan keras. Tak peduli itu akan terluka atau bahkan berdarah.

Ia teringat perkataan ayah mereka tepat sebelum kakaknya--Auriga meninggalkan kediaman Sagara.

"Jangan biarkan mereka mengetahui jati dirimu sebagai Reknath. Itu hanya akan merusak citra keluarga kita."

Janu menatap nanar sweater yang tergeletak. Tak berniat untuk mengambilnya.

"Sebenarnya ini salah siapa?" lirih Janu, melangkahkan tungkainya untuk bersandar di dekat pintu penghubung. Ia mengacak pelan surainya. Suatu kebiasaan buruk kala ia panik atau kebingungan.

"Salah kak Naviel?" Janu menggeleng. "Salah Malya?" Mata Janu kembali memanas. "Atau, salahku?" Ia tersenyum getir. Membayangkan kesalahan-kesalahan yang ia lakukan. Kesalahan yang mungkin membuat sang kakak benci dan kecewa kepadanya.

Janu lantas menenggelamkan kepalanya di antara lipatan lengan. Ia terlalu penat untuk berpikir saat ini.

......[🎶]

Malya menatap kosong pemandangan dari dalam bus kota. Jantungnya berdenyut sakit. Seakan di tusuk berkali-kali.

Ya, di tusuk rasa bersalahnya.

Helaan napas Malya yang entah sudah keberapa kali kembali terdengar. Ia tidak dapat tenang. Hatinya begitu gelisah.

Bahkan, ketika bus sudah berhenti di halte dekat rumahnya, gadis itu melangkah dengan lunglai. Pikirannya begitu kacau dan rumit.

Bolehkah ia menelepon Riga dan meminta maaf?

Malya tersenyum miris.

Hei, Riga tidak dapat berbicara terlalu banyak.

Bagaimana jika menelepon Naviel? Apakah pemuda itu akan marah?

Gadis itu mengembuskan napas kasar. Lantas masuk ke dalam rumah. Mengabaikan sapaan sang mama. Melesat masuk ke dalam kamar dan membanting pintunya.

Mengeluarkan ponsel dan segera mencari kontak Naviel. Tatapan nanar terlukis pada wajah Malya. Ia--lagi-lagi--mengembuskan napas kasar.

Hei, apakah ia jahat pada Riga?

Malya menggeleng pelan. Ia kemudian men-dial nomor Naviel. Paling tidak, ia harus mencoba, 'kan?

Tak butuh waktu lama, Naviel mengangkat panggilannya. Hening. Namun, suara keramaian terdengar dari seberang.

"Halo." Naviel membuka suara. Lemas. Tampaknya, ia sama sekali tak ingin marah.

"Kak Naviel di mana? Kak Riga--"

"Gue di rs. Pneumonia Riga kambuh. Kenapa?"

Malya menggigit bibir bawahnya. Pneumonia?

"K-kok bisa?"

Apa ini salahnya hingga Riga tersiksa seperti ini?

"Banyak faktornya. Akhir-akhir ini kayaknya dia keseringan ngomong. Komplikasi dari kelumpuhan pita suara dia, termasuk pneumonia ini. Juga mungkin, karena mentalnya kembali terguncang. Dokter bilang dia harus konsumsi obat lagi secara rutin. Dia juga udah lama gak terapi pita suara maupun ke psikiater."

Malya menelan ludah dengan susah payah. Kenapa, semua ini harus terjadi pada Riga?

Gadis itu hanya tak menyangka kehidupan Riga setelah berhenti dari dunia hiburan akan menjadi serumit ini.

"Aku boleh nyusul ke rs, Kak?" tanya Malya--lirih.

"Boleh, ke sini aja. Ini rs deket kampus, lo pasti tau."

Malya mengangguk. Ia segera menutup sambungan. Jemarinya gemetar. Ia merasa begitu bersalah. Apalagi, mengingat berita ini pasti akan menjadi topik hangat seantero kampus.

"Salahkan aku yang terlalu bodoh ini, Kak Riga, Kak Naviel."

Malya tidak mengganti baju dan hanya membawa barang seadanya. Lantas, ia kembali melesat ke luar rumah. Bergegas untuk melihat keadaan Riga.

 Bergegas untuk melihat keadaan Riga

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

One Day One Chapter Challenge
#Day16

Mute ✅Where stories live. Discover now