01- Hari Sial

1.5K 87 6
                                    

Pagi hari dengan cuaca tak mendukung, rintikan air hujan yang berjatuhan begitu banyak membuat sungai di belakang rumahnya meluap, aliran cukup banyak menyelusup masuk ke sela-sela dinding bambu reot pada rumahnya, air menggenang setinggi mata kaki membasahi kasur tipis yang setiap hari ia tiduri, tanah yang menjadi alas rumahnya pun menjadi basah dan becek.

Sepagi ini Nayla harus kerepotan dengan banjir kecil yang melanda rumahnya, untung saja tempat tidur sang kakek tersangga oleh kayu tua setinggi setengah meter, membuatnya bernafas lega, setidaknya kakeknya masih bisa berbaring dengan aman dan nyenyak di tempatnya. Namun tidak dengan kasur tipisnya, ia harus menjemur kasurnya yang baru saja dicuci dan mengeringkannya ketika hujan sudah reda.

Sebelum berangkat sekolah, Nayla terlebih dahulu menyiapkan sepiring nasi dengan lumuran kecap hitam sebagai lauknya untuk sang kakek.

"Kakek ... ayok sarapan dulu, Kek," ujar Nayla dengan tutur kata yang lembut.

"Hmm," gumam Deri– kakek Nayla yang terbujur lemas di kasur, Deri sudah dua tahun ini mengidap penyakit stroke dan gejala penyakit jantung sehingga membuatnya lemah setiap hari.

"Hari ini hujan deras, Kek. Sungai belakang rumah meluap, rumahnya kebanjiran deh, tapi untung aja airnya setinggi mata kaki doang," ujar Nayla tersenyum seraya menyuapkan satu sendok nasi ke mulut Deri.

Deri hanya tersenyum, susah untuk berbicara karena bibirnya tidak sesempurna dulu.

Lima menit sudah Nayla menyuapi makanan untuk Deri, ia mengambilkan obat di laci lemari lalu meminumkannya untuk Deri.

"Nah, sekarang kakek udah sarapan, udah minum obat juga, Nayla berangkat sekolah dulu ya, Kek," ucap Nayla seraya menyalami tangan keriput Deri.

Deri hanya mengangguk menampilkan senyuman tulus. Hujan masih belum reda, Nayla berangkat sekolah dengan jas hujan warna pink seraya mengayuh sepedanya, jarak menuju sekolah sekitar tiga kilometer, butuh waktu setengah jam untuk sampai ke sekolah.

Suara dan kilatan petir menghiasi langit, membuat Nayla terkejut seketika, ia menundukkan kepala seraya mengintai jalanan. Suara petir kembali terdengar, namun suaranya lebih keras bak dentuman bom yang akan menghancurkan bumi, bahkan membuat jalanan bergetar kecil. Nayla semakin terkejut hingga membuat sepedanya oleng, ia terjatuh di saluran got berwarna hitam nan bau di pinggir jalan. Jalanan sepi, tidak ada orang yang melihat dan tidak ada orang yang menolongnya.

"Sialan!" umpatnya, padahal ia harus cepat-cepat menuju sekolah, karena waktu sudah menunjukkan pukul enam lebih empat puluh lima menit, jika tidak cepat-cepat, ia akan terlambat.

Nayla segera bangkit dari dalam got berbau busuk itu, sumpah serapah ia lontarkan dari mulutnya. "Apes dah! Air got nya udah item, bau lagi! Untung aja gak nempel ke muka sama seragam," ujarnya lalu melanjutkan untuk mengayuh sepeda lebih cepat agar tak terlambat.

Sepuluh menit berlalu, akhirnya Nayla sampai di sekolah, tepat sebelum bel masuk berbunyi, untung saja tadi ia mengayuh sepeda dengan kecepatan extra.
Hujan mulai reda, hanya rintik gerimis yang tersisa. Nayla memarkirkan sepedanya di samping mobil sport mewah entah milik siapa, tak lupa ia sampirkan jas hujan tersebut di badan sepedanya.

Nayla berjalan tergopoh-gopoh menuju kelasnya, takut Bu Risma sudah masuk ke kelas duluan. Namun ketika memasuki kelas, ternyata sang guru tersebut belum ada di sana.

"Gue kira lo terlambat, Nay," ujar Vera— teman sebangku Nayla.

Nayla meletakkan tas di kursi duduknya, "Gue abis kejebur got," ujarnya santai lalu menduduki kursi itu.

"Hah!? Anjir, kok bisa!?" Kaget dan menahan tawa bercampur menjadi satu, Vera ingin tertawa namun disisi lain ia kasihan dengan raut wajah Nayla yang terlihat lelah.

ReynaldtanWhere stories live. Discover now