14. AB2 • LET GO

Start from the beginning
                                    

"Jadi Papah lebih milih disini sama dia Pah.. "

"Aurora dengerin Papah, Nesa ini lagi sedih, adek dia si Edeline depresi Ra."

"Ya terus Papah nggak mikirin Mamah di rumah yang selalu sedih karena kelakuan Papah? Mamah juga punya perasaan Pah.."

"Pulang Aurora."

Aurora tetap menggeleng, "enggak sebelum Papah ikut sama Aurora pulang dan minta maaf sama Mamah."

"Papah akan pulang Ra, tapi nanti. Kamu pulang duluan aja, sekarang udah malem Aurora."

"Kalo Papah tau ini udah malem, kenapa Papah malah justru ada di rumah perempuan yang bahkan nggak punya ikatan apapun sama Papah lebih tepatnya jalang Pah.."

Plak!

Perih menjalar di pipi hingga telinga Aurora. Bahkan dia merasakan sudut bibirnya berdarah.

"Jaga ucapanmu Aurora," sarkas Karl

Aurora menatap Karl dengan tatapan memprihatinkan, matanya sembab, pipinya memerah dan airmatanya berderai, "Pah.."

Menyadari itu Karl menatap tangan yang baru saja digunakan untuk menampar putrinya itu. "Aurora.."

"Pah.. Aurora cuma pengin keluarga kita seperti dulu lagi Pah, dimana semua baik-baik aja.. Aurora takut Pah.. Aurora takut dituntut menjadi kuat disaat keadaan Aurora benar-benar lemah.."

Karl menatap Aurora dengan bersalah.

"Tolong jangan sakiti Mamah kayak gini terus Pah.. Aurora juga merasakan gimana sakitnya Mamah Pah.. Mamah orang satu-satunya yang mengerti Aurora, dia terlalu baik untuk Papah sakiti.."

"Ra.."

"Papah boleh sakiti Aurora, Papah boleh benci Aurora tapi tolong.. coba baik-baik aja sama Mamah, cuma di depan Mamah aja Pah itu udah lebih dari cukup."

Suara Aurora semakin melemah ditambah dengan isak tangisnya yang tertahan.

"Jika bertahan hanya akan saling menyakiti, lebih baik lepaskan, karena sebuah hubungan tanpa rasa cinta akan menimbulkan luka."

Setelah mengatakan itu Aurora mendekati motornya. Menyalakan mesin dan kemudian melaju pergi tanpa helmnya.

Angin malam yang begitu dingin seirama dengan perasaannya yang sedang berkecamuk.

Dia ingin menjadi orang yang tak berperasaan, tapi dia tidak bisa. Semesta berkata lain, dia di hantui rasa peduli untuk orang-orang di sekitarnya.

Apa dia boleh egois kali ini?

Apa dia boleh memohon pada Tuhan untuk mencabut perasaannya?

Agar dia menjadi makhluk yang tak berperasaan layaknya makhluk berdarah dingin dalam mitologi kuno?

Citt!

Suara decitan ban yang bergesekan dengan aspal menggema di sekita perempatan. Aurora menghentikan motornya ketika segerombolan pengendara motor menghadang jalannya.

"Halo Aurora."

Seorang cowok bertubuh tegap turun dari motornya dan kemudian mendekati Aurora yang masih terdiam di tempatnya.

"Mau apa lo?!" sarkas Aurora.

Cowok itu tertawa sembari memainkan pisau lipat ditangannya.

"Kalo lo mau gue mati, bunuh gue sekarang juga," ucap Aurora.

Cowok itu tertawa kembali sambil memberi tatapan rendahan pada Aurora, "seorang Angel Alger udah jadi pengecut sekarang ya? Abis main drama menyedihkan apalagi lo?! Sampai nggak punya nyali buat lawan gue."

"Gue nggak mau mengotori tangan gue cuma buat berurusan sama kasta rendahan kayak lo."

Leon bertepuk tangan, "wah wah wah, cuma lo makhluk yang berani ngomong kayak gitu ke gue. Gue salut sama Angel Alger."

"Udah bukan Angel Alger lagi kali Yon, kan udah di buang."

Suara melengking dari arah gerombolan Leon membuat Aurora mendongak dan mencari sumber suara itu. Dan matanya terbelalak ketika melihat seorang perempuan melenggang mendekati tempatnya.

"Tamara?" gumamnya.

"Hai Aurora Pelangi? Senang ketemu lo lagi," dia Tamara Kinanthi, badgirl SMA Pangeran dan salah satu anggota Kingston.

"Kok lo?"

Tamara berdiri di sebelah Leon dan kemudian menyandarkan tangannya di bahu Leon sedangkan dagunya ditempelkan di punggung tangannya.

"Kenapa? Lo terkejut?" tanyanya dengan santai.

"Bukannya lo—"

"Anak Kingston? Orang yang ngejar-ngejar cinta Borealis gitu?"

Tamara mendekati Aurora membelai pipi perempuan itu perlahan.

"Gue udah bukan Tamara yang kayak gitu, bukan Tamara yang tolol yang kerjaanya cuma gelayutan sama ketua Kingston yang nggak tau diri itu."

"Tapi kenapa lo bisa—"

"Asal lo tau Ra, gue ini udah di buang dari Kingston sama kayak lo."

"Kingston nggak pernah merasa udah buang lo?! Lo sendiri yang menganggap diri lo seperti sampah."

Suara bariton itu berasal dari jalur perempatan sebelah kiri, semua menoleh dan mendapati inti Kingston tengah berjalan dengan gagahnya mendekati mereka. Tak lama kemudian suara deru motor mengikuti di belakangnya.

"Kita nggak pernah buang lo, semua anggota Kingston itu keluarga. Tapi kalo lo nggak mau mengerti keadaan keluarga lo udah seharusnya lo itu emang di buang dari Kingston." tukas Borealis.

"Dan sampai kapanpun Aurora akan tetap jadi Angel Alger," sahut seseorang dengan suara berat dari jalur perempatan sebelah kanan. Disana berjalan inti Alger. Dan suara deru motor menggema dari arah belakangnya.

"Lo salah menyimpulkan," sarkas Alaska.

Kini tengah-tengah jalur perempatan itu penuh dengan para anggota geng itu.

"Bangsat! Jadi kalian jebak gue?" tukas Leon.

"Kita nggak pernah jebak lo, tapi kalo lo merasa di jebak, ya baguslah jadi kita bakal anggap kalo kita ini jebak lo," ucap Alaska.

"Brengsek!" umpat Leon.

"Kita emang brengsek! Tapi seenggaknya kita nggak pernah merendahkan orang apalagi seorang cewek. Lo juga punya nyokap kan? Dia perempuan man inget," ucap Borealis.

"Kayak kelakuan lo udah paling bener aja ngomong kayak gitu," decak Leon.

"Bacot lo!" George mulai tersulut emosinya.

"Hey man, yang banyak bacot tuh mereka bukan gue," elak Leon.

"Basa basi lo basi man," teriak Titan.

"SERANG!!!!!"




AURORA BOREALIS 2 [ ✓ ]Where stories live. Discover now