XXXVI. Handsman Beneviva

275 13 0
                                    

Happy reading guys. Salam cinta dari penulis

Ninda_Rayanti

***

Panji dengan selamat sampai dikediaman Maheswara, walau ia merasa sedari tadi ada sebuah mobil yang mengikutinya dari belakang. Kedatangan Panji membuat Taufan membelalak dan tersenyum. "Abang."

"Aufan." Panji tak menyangka jika adiknya ada di sana.

"Pak Panji dan Pak Taufan saling mengenal?" Cashya bertanya.

Panji tersenyum. "Saya adalah anak pertama dari tiga bersaudara, Aufan adalah adik bungsu saya. Keluarga kami memang tidak lepas dari profesi hukum kenegaraan. Mendiang Ayah saya sebagai Jaksa, saya sebagai pengacara, adik perempuan saya sebagai polisi dan Aufan menjadi anggota intelijen kepolisian."

Zeka sendiri hanya mengangguk datar, bukan saatnya mengetahui silsilah keluarga seseorang. Panji langsung menyadari itu, ia langsung merubah ekspresi wajahnya menjadi seorang pengacara profesional. "Ada apa Pak Zeka meminta saya datang ke mari?"

"Pertama, saya ingin Bapak segera membacakan warisan yang Serafina dan Idris tinggalkan. Lalu yang kedua, sekaligus aku mau minta maaf sama kamu, Shya karena nggak minta izin kamu dulu sewaktu dulu aku meminta pihak kepolisian untuk mengautopsi jenazah Idris." Zeka berkata pada Cashya.

Jujur sebetulnya Cashya marah, tapi suaminya itu pasti memiliki alasan mengapa melakukannya. Membuat Cashya akhirnya hanya bisa mengangguk, memahami Zeka. "Nggak papa, kamu pasti punya alasan kenapa melakukan itu, Mas."

"Terima kasih Cashya." Zeka tahu jika sebetulnya Cashya kesal dengan keputusan sepihaknya, namun sekarang bukan waktunya untuk main salah-salahan. Ada sesuatu yang benar-benar Zeka ingin tahu.

"Sekalian hasil autopsi jenazah, Bang Idris minta tolong dibacakan." Zeka kembali berucap pada Cashya. 

Panji mengangguk, ia kemudian mengeluarkan kertas dari dalam tas kerjanya. "Baik, saya mulai dengan pembacaan surat wasiat terlebih dahulu. Aufan, bisa kamu pergi sebentar?" 

Taufan mengangguk. "Baik, Bang." 

Taufan pun keluar rumah, berjalan-jalan di halaman rumah Cashya dan Zeka yang menurutnya begitu luas. Dari letak kompleknya saja Taufan sudah tahu jika keluarga Maheswara adalah keluarga yang berada. Sementara itu di dalam ruang tamu, Panji mulai membacakan surat wasiat Idris. 

"Dengan ini saya menyatakan yang bertanda tangan dibawah ini adalah saya sendiri. Nama Idris Maheswara, tempat, dan tanggal lahir Jakarta, 28 Februari 1974, yang bertempat tinggal di Menteng Jakarta Pusat. Akan memberikan warisanya kepada. Satu, rumah saya yang berada di Menteng Jakarta Pusat akan saya ubah kepemilikan nama menjadi nama putri saya dan menantu saya Zeeshan Kamayel Auriga. Yang kedua usaha saya yang berupa Maheswara Building yang terdiri atas bangunan kantor di Jakarta dan di Kalimantan dan bertgerak dibidang material akan saya kembalikan pada pemilik asalnya, yaitu Zeeshan Kamayel Auriga yang telah memberikan saya modal usaha. Lalu yang terakhir, sebuah galeri paviliun yang saya beli tahun lalu di daerah Kelapa Gading saya serahkan kepemilikkannya di tangan putri saya. Saya yakin galeri lukis itu akan menjadi sesuatu yang bermanfaat untuk karir lukisnya. Demikian surat wasiat ini saya buat, dengan saksi pengacara saya sendiri dan Hendra Agriva selaku notaris keluarga kami."

Cashya mengangguk. "Aku percaya, Maheswara Building akan kembali stabil kalau kamu yang pegang, Mas."

Zeka kembali memeluk Cashya. "Terima kasih sudah mempercayaiku, Cashya." 

Cashya tidak membalas pelukkan Zeka, bagaimanapun walau ia telah mengatakan tak apa. Tetap saja Idris di autopsi tanpa persetujuan dirinya yang notabene adalah putri kandung Idris. Sebelum Panji membacakan laporan autopsi, terlebih dahulu, Taufan dipanggilnya masuk kembali. 

Istri Muda Where stories live. Discover now