Part 6

359 38 7
                                    

Pergerakan Jimin yang akan memakai jam tangannya terhenti, beralih menatap pada ponselnya yang sempat berbunyi saat itu. Namun, ketika ia membaca nama kontak yang tengah menelponnya membuatnya terdiam. Hingga panggilan itu tak diangkatnya dan membuat panggilan itu pun terputus begitu saja.

Helaan nafas itu ia keluarkan setelahnya, memikirkan tentang Mina yang terus saja menghubunginya. Namun beberapa minggu belakangan ini pula, tak ada satupun panggilan ataupun pesan dari Mina yang ia berikan jawaban.

"Ada apa denganmu?"

Suara itu sedikitnya membuat Jimin terkejut, namun dengan cepat menampakkan senyumnya bagi Jennie yang kini mendekat padanya.

"Kau baik-baik saja?"

"Tentu saja. Mengapa kau bertanya hal itu?" Jimin mengalihkan pandangannya, kembali memilih untuk memasangkan jam tangan di pergelangan tangannya yang saat itu tengah bersiap.

"Entahlah. Setelah kepulanganku, tingkahmu menjadi sedikit aneh. Kau lebih sering melamun. Dan tidak satu atau dua kali kau selalu saja terkejut jika aku memanggilmu."

Jimin tak menjawab apapun saat itu, mulai menyadari pula sikapnya belakangan ini. Pengaruh Yoo Mina sudah pasti ikut andil dalam perubahan sikapnya. Walaupun ia berusaha untuk bersikap seperti biasa, namun Jennie tetap bisa mengetahui keanehan sikapnya.

Jimin bahkan tak bisa membayangkan bagaimana jika Jennie mengetahui tentang dirinya dan Mina.

Melihat keterdiaman Jimin saat itu sudah membuat Jennie mengerti, membuatnya menghela nafas sebelum akhirnya membawa dirinya untuk berdiri di hadapan Jimin dan kini membuatnya berada di antara pria itu dan meja rias di belakang tubuhnya.

Jennie menangkup wajah Jimin, mengelusnya dengan ibu jarinya dan hal itu tentu saja sedikitnya menenangkan Jimin akan sentuhan lembut dari sang istri.

"Ada apa? Kau bisa bercerita padaku jika kau memiliki masalah yang cukup berat. Aku istrimu, dan aku akan sangat senang jika kau bisa berbagi sedikit rasa lelahmu padaku."

Astaga, Jimin rasanya benar-benar ingin memukul dirinya sendiri saat ini. Lihat saja bagaimana tatapan tulus dan khawatir Jennie ketika menatap dan mengatakan semua hal itu padanya. Dirinya benar-benar pantas mendapatkan kebencian Jennie jika istrinya itu mengetahui apa yang sudah ia lakukan di belakangnya.

Atau mungkin, perpisahan bisa saja ia dapatkan jika Jennie mengetahui semuanya.

Tidak. Jimin tak akan mau, dan bahkan membayangkan hal itu pun tak akan mau ia lakukan.

Jimin menarik senyumnya, menarik Jennie mendekat dan memeluk tubuh wanita itu. "Terima kasih. Tapi aku benar-benar tak apa. Hanya saja, pekerjaan di kantor membuatku sedikit lelah. Tapi tak apa, aku masih bisa untuk mengatasinya. Maaf karena membuatmu khawatir."

Jennie kembali berhela, "tentu saja. Kenapa aku bisa lupa dengan si Tuan Sempurna ini? Aku bahkan tak bisa menghitung sudah berapa kali kau jatuh sakit karena terlalu lelah dengan semua pekerjaanmu."

Jimin hanya tersenyum, mengecup bibir Jennie sekilas sebelum menjauhkan tubuh keduanya. "Baiklah, aku harus pergi sekarang."

Jennie mendecak, tak bisa berkata apapun lagi. Memilih untuk membantu Jimin memasangkan dasinya. "Jangan terlalu memaksakan dirimu. Bukan hanya aku saja sekarang yang menunggu di rumah, tapi ada bayi kita yang juga ikut menunggumu." Jennie menyelesaikan pekerjaannya, menatap pada Jimin setelahnya. "Ingat itu. Aku tak ingin menjadi seorang ibu tunggal secara tiba-tiba."

"Hey, jangan berbicara seperti itu. Kau membuatku menjadi takut."

"Aku seharusnya yang takut. Ingat apa yang ku katakan, Jimin."

"Baiklah, baiklah. Aku mengerti. Kau juga harus menjaga dirimu selama aku tak ada, mengerti?"

Jennie hanya mengangguk menjawabnya, sementara Jimin memilih untuk beranjak setelah mengecup kembali kening Jennie.

.

.

Ketakutan Jimin semakin menjadi saat ini, ketika sosok yang sebenarnya sangat tak ingin ia temui malah datang sendiri padanya.

"Aku menyukai kau menata ruanganmu, benar-benar seorang Noh Jimin."

Mina mengalihkan pandangannya, menatap Jimin yang terduduk di kursi kerjanya sebelum mendekat pada pria itu setelahnya.

"Ada apa dengan wajahmu itu? Kau terlihat tak senang dengan kehadiranku."

Jimin hanya berhela, berusaha untuk menahan segala emosi yang berkumpul di dalam dirinya. Mina adalah sosok lembut yang tak akan pernah bisa untuk mendapatkan suara bentakan, Jimin sangat tahu itu. Saat mereka berhubungan dulu pun, ia sama sekali tak pernah membentak pada Mina. Gadis itu terlalu rapuh di matanya hingga ia tak tega hanya untuk meninggikan suaranya pada Mina.

Tapi kali ini, Mina sudah kelewatan. Ya, walaupun ia tahu jika semua ini berawal pula dari kebodohannya juga.

"Dengar, kau tak seharusnya berada di sini. Aku bahkan tak tahu bagaimana bisa kau berada di sini dan mengetahui keberadaan kantorku."

"Taehyung memberitahuku."

Oh, sudah pasti Han Taehyung sialan itu! Biarkan nanti Jimin yang akan memberikan pelajaran pada pria brengsek yang sayangnya adalah sahabatnya pula.

Jimin beranjak dari duduknya, berhadapan langsung dengan Mina. "Kau harus pergi sekarang juga."

"Kenapa kau mengusirku? Kau tak suka jika aku di sini? Aku merindukanmu, Jimin." Mina mendekat, berusaha untuk memeluk Jimin. Namun pria itu dengan cepat pula memundurkan langkahnya, berusaha untuk tetap tenang dan tak memakai emosi saat ini.

"Kumohon, Mina. Kau tak seharusnya berada di sini."

"Wae? Kau takut jika istrimu akan kemari?"

"Mina, kau tahu ini semua tak benar. Dan aku meminta maaf padamu karena membawa hubungan ini hingga sampai di tahap ini. Tapi, aku harus mengakhiri ini semua. Aku yakin kau pun akan menemukan seseorang--"

"Tidak. Aku tidak ingin pria lain. Yang ku inginkan sekarang ada di hadapanku. Kau pun sudah berjanji tak akan pergi dariku. Tak ada siapapun yang bisa menjadi tumpuanku selain kau. Setelah semua yang kita lewati bertahun-tahun, aku tak akan mau untuk berpisah lagi denganmu, Jimin."

"Yoo Mina, semua sudah berubah. Kau tak bisa berpikir tentang kita seperti dahulu. Ada Jennie saat ini bersamaku. Dia bahkan saat ini sedang mengandung, dan aku tak akan mau untuk menyakitinya lebih lagi. Karena aku menyayanginya dan mencintainya. Sama halnya dengan bayi yang tengah dikandungnya saat ini."

Mina kehabisan kata karena tahu bahwa dia sudah kalah, membiarkan begitu saja satu bulir airmata jatuh membasahi wajahnya. Dan hal itu membuat Jimin mengalihkan pandangannya, takutkan jika ia kembali kalah dengan perasaan bersalahnya akan Mina.

"Maafkan aku. Kau pantas untuk mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada aku."

Mina menghapus dengan cepat airmatanya, memaksakan senyumnya pula saat itu. "Baiklah. Aku mengerti dengan semua ini. Kau memang pria baik, Jimin. Jennie beruntung karena memilikimu. Kuharap, kau akan bahagia dengan kehidupanmu saat ini bersama dengan Jennie."

Mina beranjak pergi begitu saja, tanpa Jimin menahan kepergiannya dan hanya menatap pada gadis itu. Perasaan sedih itu benar-benar menyiksa Mina, karena hanya Jimin yang ia miliki saat ini dan kehadiran pria itu tentunya menjadi alasan mengapa Mina tetap bernafas di dunia ini.

Jadi, ketika nafasnya pun sudah tak ada, maka tak ada alasan pula baginya untuk tetap berada di dunia ini.

Benar, bukan?




--To Be Continued--

it hurts ❌ jenminWhere stories live. Discover now