Part 8

348 43 6
                                    

"Teman?"

Jennie mengangguk untuk menjawabnya, sembari membawa dirinya untuk duduk di kursi meja makan setelah meletakkan piring terakhir di atas meja.

"Kau masih ingat tentang cerita aku menyelamatkan seseorang?"

Jimin hanya mengangguk, memilih untuk memulai sarapannya setelahnya.

"Selama tiga bulan ini, kami sudah berteman dekat. Dan aku mengingat jika hari ini adalah ulang tahunnya. Jadi, aku ingin mengajaknya kemari untuk merayakan bersama."

"Kenapa harus kemari? Memangnya dia tak mempunyai seseorang untuk diajak untuk merayakan bersama?"

Jimin sempat mengaduh, mendapatkan sebuah pukulan pada lengannya.

"Apa kau lupa? Atau saat itu tak mendengarkan ceritaku, huh? Sudah kubilang dia tak punya siapapun lagi. Kau pikir kenapa dia dengan bodoh mau mengakhiri hidupnya saat itu?"

"Seseorang sepertinya tak bisa ditinggal atau diabaikan begitu saja. Harus ada seseorang di sampingnya, setidaknya untuk selalu menguatkannya dan mengatakan jika masih ada seseorang yang mau untuk berjalan beriringan bersamanya. Tak menyangka, jika kami akhirnya menjadi dekat setelahnya." Lanjut Jennie.

Tak mendapatkan respon apapun membuat Jennie kembali menatap pada Jimin, mengangkat satu alisnya. "Kenapa menatapku seperti itu?"

Jimin mengendik, "aku hanya merasa kau mulai sedikit terbuka dengan banyak orang akhir-akhir ini. Aku bahkan cukup terkejut tadi ketika kau menyapa tetangga baru kita. Sudah tak takut untuk disakiti lagi, hmm?"

Jennie sempat berhela, membenarkan ucapan Jimin yang pernah ia katakan pada pria itu sebelumnya. "Yah, aku tahu apa yang ku lakukan di masa lalu terdengar bodoh. Menjauhi banyak orang dan bahkan terkadang melarang dirimu untuk bertemu dengan teman-temanmu. Terlalu banyak ketakutan yang ku pikirkan, sehingga membuatku seperti saat itu."

"Kau pasti sangat kesulitan karena diriku, ya?" Tanya Jennie kembali menatap pada Jimin setelah sebelumnya sempat merunduk.

Jimin menggenggam satu tangan Jennie, menciumnya setelahnya. "Tidak juga. Memangnya kapan lagi aku bisa merasakan semua itu? Mantan-mantan kekasihku yang dulu pernah ku kencani tak pernah setakut ini untuk kehilanganku. Aku merasa begitu dicintai olehmu."

"Ck, kenapa jadi membawa mantan kekasihmu kemari?"

Jennie mendecak, melepaskan genggaman Jimin pula dan malah membuat pria itu tertawa pelan karenanya.

"Sudahlah. Malam ini, kau harus menyempatkan dirimu untuk pulang. Aku juga ingin mengenalkanmu padanya nanti."

"Baiklah. Aku ingin melihat sosok apa yang bisa membuat istri tercantikku ini bisa berubah pikiran tentang dunia."

.

.

Jennie menghentikan dirinya, ketika mendengar suara bel rumah yang berbunyi. Menahan Bibi Go yang saat itu sudah akan beranjak, "biar aku saja, bibi."

Dan benar saja, ketika ia membuka pintu rumah, seseorang yang ditunggunya sudah datang. Sementara Mina membalas senyum itu pula, tak menolak ketika Jennie memeluknya untuk menyambutnya.

"Kau datang, Mina. Kukira kau akan tersesat nanti ketika akan menemukan rumahku."

Jennie lebih dulu melepaskan pelukan mereka, menarik Mina bersamanya untuk masuk setelahnya.

"Yah, di awalnya aku cukup bingung. Ternyata Seoul sudah banyak berubah setelah lima-belas tahun berlalu."

Jennie membalas hanya dengan senyumnya, menyuruh Mina untuk duduk lebih dulu di ruang tengah selagi ia meninggalkannya sejenak.

it hurts ❌ jenminWhere stories live. Discover now