Part 4

396 38 19
                                    

Jimin kalah. Dia benar-benar kalah. Ia kalah dengan paras Mina yang benar-benar berubah menjadi gadis yang menarik. Ia kalah dengan pesona gadis itu yang tak pernah hilang bahkan setelah lima-belas tahun berlalu. Dan juga, mungkin ia kalah oleh perasaannya pada Mina yang sempat ia kubur di tempat terkecil di dalam hatinya.

Jimin melirik ke arah Mina, yang dengan nyamannya terlelap di dalam pelukannya setelah kegiatan panas yang mereka lakukan. Mereka berbagi selimut yang sama, menutupi tubuh tanpa busana mereka tentu saja. Jimin benar-benar gila, katakan saja seperti itu. Meninggalkan teman-teman mereka dan berakhir di sini bersama dengan Mina.

Perlahan, ia beranjak dari berbaringnya. Berusaha untuk tak membangunkan Mina saat itu dan berhasil. Memakai dengan cepat celananya dan membiarkan tubuh atasnya tetap tak berbalut apapun.

Pintu balkon dari kamar hotel tempat ia berada saat itu telah dibukanya, dan pemandangan senja yang perlahan berganti menjadi malam kini berada di hadapannya. Ia sama sekali tak mempermasalahkan sapuan angin yang membelai tubuhnya. Sebaliknya, ia membutuhkan hal ini. Suasana tenang dan nyaman untuk menenangkan pikirannya yang tengah kalut saat ini.

Jimin bersalah pada Jennie, ia sangat tahu itu. Namun Jimin tetap tak ingin berbohong pula jika apa yang ia lakukan bersama Mina tadi bukanlah sebuah keterpaksaan. Ia menikmati semua itu, bahkan tak ada nama Jennie di dalam kepalanya ketika melakukan semua itu. Hanya Mina, dan Mina saja. Entahlah, apa Jimin bisa menatap Jennie lagi nanti setelah apa yang ia lakukan di belakang gadis itu.

"Jimin, tak peduli apapun yang terjadi, tolong berusaha untuk tak berbohong padaku. Aku tak suka dengan seseorang yang menghancurkan kepercayaan yang telah kuberikan."

Helaan nafas itu ia keluarkan, bersama dengan kepalanya yang merunduk dan kesepuluh jemarinya merengsek masuk untuk menjambak rambutnya sendiri. Ia tahu, dengan ia melakukan hal itu tak mengubah apapun. Tapi, biarkan saja Jimin saat ini untuk meratapi apa kesalahannya.

Lalu sebuah tangan dengan indah melingkari perutnya. Tak perlu berbalik untuk mengetahui siapa pemilik kedua tangan itu. Sapuan nafas di balik punggungnya pun tak membuat Jimin berbalik untuk menatap pada Mina di belakang tubuhnya.

"Masih sama. Begitu hangat. Inilah kenapa aku menyukai saat memelukmu."

Ucapan Mina tak mendapatkan jawaban apapun dari Jimin. Pria itu bahkan tak berusaha untuk menjauh, atau melepaskan pelukan Mina padanya. Astaga, beberapa detik yang lalu, ia merasa bersalah pada Jennie. Tapi saat ini, hatinya malah tak bisa berbohong jika dirinya pun menyukai ketika Mina memeluknya saat ini.

Mina melepaskan lebih dulu pelukannya, hanya untuk bisa menyelipkan tubuhnya di antara tubuh Jimin dan pembatas balkon saat itu--membuatnya bisa menatap pada Jimin langsung sembari menangkup wajahnya.

"Eomma dan appa akan datang beberapa hari lagi. Dan mereka ingin bertemu denganmu nanti. Bagaimana? Kau setuju?"

Seharusnya, ucapan tidak atau gelengan kepala yang Jimin berikan sebagai jawabannya. Jimin seharusnya bisa menolak dan mengatakan pada Mina bahwa mereka tak bisa untuk kembali bersama seperti dahulu kembali. Jimin sudah memiliki Jennie saat ini, dan ia tak bisa pula untuk menyakitinya.

Namun, ketika melihat tatapan memohon itu, Jimin kembali kalah. Dan anggukan darinya tak bisa menutupi kebahagiaan di wajah Mina. Berjinjit hanya untuk mendaratkan sebuah kecupan di bibir Jimin.

Hah, senyuman itu. Jimin merasa begitu bahagia pula ketika melihat senyum itu--dan bersamaan pula dengan rasa bersalah yang ia rasakan terhadap Jennie.

.

.

Hari-hari terlewati dengan begitu cepat. Jimin banyak menghabiskan waktu dengan Mina, meluangkan banyak waktu untuk pergi ke tempat dimana mereka pernah datangi saat masih berhubungan dulu.

Dan tentu saja, semua itu Jimin lakukan tanpa sepengetahuan Jennie. Istrinya itu akan tetap menghubunginya, tanpa tahu jika suaminya sedang bersenang-senang dengan wanita lain.

Jimin sekali lagi tahu, jika ia bersalah pada Jennie. Dia juga tahu, mungkin suatu saat nanti, Jennie akan mengetahui semua ini dan akan membencinya. Bahkan untuk memaafkannya pun tak akan Jennie lakukan.

Tapi, Mina itu bukanlah seseorang yang bisa ia jauhkan begitu saja. Mereka pernah menghabiskan waktu bersama, tentu Jimin tak ingin berbohong atas apa yang hatinya tengah rasakan saat ini.

Jimin tahu ini terdengar jahat, dan orang-orang menganggapnya pria brengsek. Tapi, ia mencintai dan menyayangi kedua wanita itu. Dan untuk saat ini, Jennie tak tahu apapun, sementara ia tak ingin melepaskan Mina.

Dan seperti rencana sebelumnya, Jimin akan bertemu dengan orangtua Mina hari ini. Mengendarai mobilnya menuju bandara hanya untuk menemani Mina menyambut orangtuanya yang akan kembali ke Seoul.

Tapi, semua itu tak berjalan lancar seperti apa yang mereka pikirkan. Pertemuan itu tak pernah terjadi, ketika mereka mengetahui jika pesawat yang ditumpangi oleh kedua orangtua Mina mengalami kecelakaan. Bahkan pada sebuah berita yang beredar, bisa dipastikan tak ada satupun dari mereka yang selamat.

Jimin tentu tak bisa begitu saja meninggalkan Mina di tengah keterpurukannya. Yoo Mina adalah anak tunggal di keluarganya. Tentu saja kehadiran Jimin sangat dibutuhkan oleh Mina setelah berita tentang kecelakaan orangtuanya. Selalu menemani wanita itu di sampingnya dan menenangkannya, berusaha untuk membuat Mina bisa melupakan sedikit kesedihannya dengan kehadiran dirinya di samping Mina.

"Kau tak akan pergi dariku, bukan? Hanya kau yang kumiliki saat ini, Jimin."

Dan sekali lagi, permintaan itu membuat Jimin kembali kalah.

.

.

Pagi hari baru kembali datang, membuat Jimin yang tengah terlelap saat itu kini perlahan membuka kedua matanya. Dan, pandangan pertama paginya hari ini adalah Mina yang tengah terlelap di sampingnya, memeluknya dengan begitu erat seolah takut dirinya akan pergi.

Pria itu menghela nafasnya, menyentuhkan jemarinya untuk mengelus wajah pucat si gadis. Mina banyak menangis semalam setelah menghadiri upacara peringatan kematian bagi seluruh penumpang dan awak kabin pesawat yang mengalami kecelakaan--termasuk dengan kedua orangtuanya. Dan hari itu adalah pertama kalinya Jimin bisa melihat menangis dengan sangat menyedihkan kemarin.

Mina terbangun kala itu, membuka kedua matanya dengan perlahan dan Jimin menjadi pemandangan pertama saat ia membuka kedua matanya.

"Selamat pagi.."

Sapaan itu hanya bisa menarik segaris senyum dari Mina, semakin menenggelamkan dirinya dalam pelukan Jimin ketika pria itu menariknya mendekat.

Hening melanda keduanya saat ini, menikmati waktu yang berjalan dengan masih saling memeluk. Mina semakin merasa nyaman di sana, merasakan sentuhan lembut di kepalanya yang Jimin berikan.

"Jimin.."

"Hmm?"

"Kau tahu jika aku sudah tak memiliki siapapun saat ini. Kau juga sudah berjanji padaku bahwa kau tak akan pergi." Lalu mendongak untuk menatap pada Jimin, menyentuhkan jemarinya pada wajah si pria, "jadi, jangan pergi, hmm? Apapun yang terjadi, tolong terus berada di sisiku."

Itu benar-benar pilihan yang sangat berat. Jimin tak pernah tahu jika ia akan sejauh ini. Ini semua kesalahannya, dan dirinya tak mungkin bisa pergi begitu saja disaat keadaan Mina seperti saat ini.

Tapi, bagaimana dengan Jennie? Perasaan bersalah itu semakin besar setiap detiknya, bersama dengan senyumnya ketika ia menghabiskan waktunya bersama dengan Mina.

Baru saja Jimin akan membalas ucapan Mina, ponselnya saat itu menghentikannya. Dan ketika nama yang terpampang di layar ponselnya dilihatnya, ia tak bisa menutupi keterkejutannya. Beranjak begitu saja dari hadapan Mina yang hanya bisa menatap kepergian Jimin tanpa bisa menghentikan pria itu pula.





--To Be Continued--

it hurts ❌ jenminOnde histórias criam vida. Descubra agora