Part 17

125 10 9
                                    

Jennie sekali lagi melirik ke arah ponselnya, menunggu sebuah panggilan telepon dari seseorang yang memang ia tunggu. Waktu bahkan sudah menunjukkan dini hari, namun rasa kantuknya tak datang dengan begitu saja. Semua perasaannya bercampur saat ini, dan Jennie bahkan tak tahu perasaan yang lebih mendominasi dirinya saat ini.

Baru saja ia akan beranjak dari atas ranjangnya sendiri saat ini, namun ponsel yang berada tak jauh darinya saat itu membuatnya dengan cepat berbalik. Menghela nafas lega ketika seseorang yang ia tunggu akhirnya menelponnya.

"Mina? Bagaimana?"

Jennie tak mendapatkan jawaban apapun selama beberapa menit saat itu, kembali duduk di atas ranjangnya saat itu dengan beberapa pikiran tentang mengapa Mina begitu lama untuk menjawab pertanyaannya.

"A-Apa Jimin--"

"Tidak. Kami baru saja melakukannya." Ucap Mina, memotong Jennie lebih dulu. Dirinya masih duduk di sisi ranjang, melirik sekilas pada Jimin yang masih terlelap dan membelakanginya saat ini sebelum kembali mengalihkan pandangannya. "Dan itu bukan sekali, tapi berkali-kali."

Mina hanya berhela saat itu ketika Jennie belum mengatakan apapun padanya di sebrang telpon sana. "Kau sudah puas sekarang? Masih ingin melanjutkan semua ide gila ini, huh? Atau kau sekarang tiba-tiba saja menjadi tak terima dan marah karena mengetahui suamimu tidur bersama dengan wanita lain?"

Jennie tertawa kecil mendengarnya. "Tidak, bukan begitu. Aku hanya berpikir jika Jimin tak ingin melakukannya dan masih tetap pada pendiriannya. Syukurlah jika dia akhirnya mau menuruti keinginanku."

"Syukurlah? Apa aku tak salah dengar tadi?!" Mina sempat meninggikan suaranya, tak peduli jika suaranya tadi bisa membuat Jimin terbangun dari tidurnya. "Kau benar-benar gila, Jennie."

"Tidak. Aku hanya ingin membuat semua orang bahagia dengan apa yang sudah aku pikirkan ini."

"Bahagia? Kau membuat semua orang menjadi kacau karena ide gilamu itu!"

"Jadi, kau sudah tak memiliki perasaan pada Jimin?"

Mina terdiam ketika mendengarnya. Sementara Jennie berusaha untuk menarik senyumnya saat itu. "Aku tahu, Mina. Kau selalu mengatakan padaku bahwa kau tak lagi memiliki perasaan pada Jimin. Tapi, apa kau sudah tanyakan pada hatimu sendiri bagaimana perasaanmu yang sebenarnya pada Jimin?"

"Jennie--"

"Hanya kau yang bisa membantuku saat ini, Mina."

Lagi, ucapan Jennie membuat Mina bungkam saat itu. Jennie berhela, berusaha untuk tak mengeluarkan airmatanya yang sedari tadi berusaha ia tahan.

Mina berhela saat itu, berusaha mengontrol semua emosi yang ada dalam dirinya. "Jennie, ada banyak cara yang bisa kau dan Jimin lakukan bersama. Jimin tetap bersamamu bahkan disaat kau seperti ini, Jennie. Seharusnya hal itu sudah membuktikan bagaimana dia merasa bersalah dan lebih mencintaimu ketimbang diriku."

"Ini bukan tentang hal itu lagi. Kau tak mengerti karena kau tak berada pada posisiku saat ini, Mina."

Jennie sempat menjeda, sebelum kembali melanjutkan ucapannya. "Seorang wanita tak akan bisa dikatakan sempurna ketika rahim mereka diangkat dan seumur hidup tak akan bisa melahirkan. Aku bisa saja berbohong pada semua keluargaku maupun keluarga Jimin saat ini. Dan pasti cepat atau lambat, mereka akan mengetahui tentang aku yang tak akan pernah bisa untuk memberikan keturunan. Keluarga Jimin memang menyayangiku. Tapi, kita semua tak bisa menjamin apa mereka akan tetap menerimaku setelah mengetahui keadaanku yang sebenarnya."

"Tapi secara tak langsung kau mengecewakan mereka karena berbohong tentang hal ini. Apa kau tak ingat aku pernah bercerita padamu bagaimana Ibunya Jimin yang membenciku setelah tahu aku juga berkencan dengan pria lain?"

it hurts ❌ jenminWhere stories live. Discover now