High School

1.1K 40 1
                                    

Aku sedang duduk manis di ruang tamu guna menunggu Harry yang berjanji akan mengantarku pulang mengambil semua buku dan pakaianku lalu ke sekolah. Harry benar benar akan memboyongku ke rumah mewah ini, ia sangat excited ketika tau jika aku akan pergi ke sekolah. Entah mengapa dia begitu bersemangat.

"Ayo, aku sudah siap." Harry datang dengan setelan baju formalnya. Ia mengatakan jika selesai mengantarku ia akan pergi ke kantor walaupun jam kerjanya adalah jam 8 pagi. Dia bahkan rela mengorbankan satu jam lebih awal hanya untuk mengantarku.

Aku begitu canggung dengannya. Dia tidak mengatakan apapun tentang keadaan tubuhku yang memanas kemarin, dia hanya bilang aku mengkonsumsi pink viagra untuk menggodanya. The hell! Tentu aku tersinggung! Aku bahkan tidak mengerti benda itu apa dan kenapa bisa benda itu masuk ke dalam tubuhku.

Setelah sex hebat kemarin aku hanya terdiam bodoh menangisi diri yang begitu tolol hanyut dengan pesonanya. Aku menyesal telah melakukan itu namun apa yang semua Harry lakukan padaku hanyalah membantuku agar aku tidak kepanasan. Dia tidak bersalah tapi dia juga bersalah. Entahlah. Aku malas membahasnya. Lain waktu setelah aku benar benar tinggal bersamanya, aku tidak akan biarkan ia menyentuhku lagi. Tidak akan!

"Apa kau masih marah denganku?" Tanya Harry memecah keheningan. Sedari tadi aku hanya diam dan berbicara sesekali untuk menunjukkan jalan ke rumahku. Mungkin itu membuatnya tersadar akan kecanggungan yang sedang kami bangun.

Aku diam dan Harry tidak melanjutkan obrolannya. Mungkin ia bukan tipe pengendara yang suka berbicara seperti Zayn. Ah Zayn. Aku jadi merindukannya. "Rumah putih itu." Aku menyiapkan diri untuk turun selagi Harry memperlambat laju mobilnya. Mobil ? Yeah, Harry diam diam menyimpan mobil mewah di bagasi rumahnya. Ia baru mengeluarkannya pagi ini.

Aku turun dari mobil dengan cepat. Kakiku melangkah masuk kedalam rumah, meninggalkan Harry yang masih sibuk dengan mobilnya. "Zayn!" Panggilku kesegala arah. "Zayn, are you here?!"

"Sheryl?" Seseorang menyautiku dari arah bagasi. Aku berjalan ke arah sana dan melihat Zayn baru saja keluar dari bawah motornya. Aku tersenyum lebar menunggu Zayn bangkit lalu memeluknya erat seperti sudah lama terpisahkan. "Kau baik baik saja? Bajingan itu tidak melukaimu kan?" Tanyanya sedikit panik. Aku mengangguk mengatakan jika diriku baik baik saja. Senang rasanya bisa melihat Zayn.

"Well, it's time to go to school babygirl. And... Good morning Zayn." Suara Harry menginterupsi kami. Aku menoleh ke belakang melihatnya tengah menyandarkan diri di kusen pintu. "Kami datang untuk membawa sisa barang barang Sheryl."

Zayn dan aku diam. Ia hanya menatapku lelah lalu mengacak rambutku pelan. "Ambillah. Hari ini aku akan pergi bekerja dan mencoba menebusmu."

"Bekerjalah dengan giat Zaynie.... Sheryl sedang menunggu untuk kau jemput." Suara Harry seolah meledek Zayn, ia tersenyum miring menatap kami berdua. "Tunjukkan dimana kamarmu Sheryl, kau harus pergi ke sekolah bukan ? Sebaiknya kita bergerak cepat."

Aku berjalan lesu mendekati Harry. Ia merangkul tubuhku erat tidak menyingkir sekalipun aku menghentakkan lengannya. Tubuhku membimbingnya masuk kedalam kamarku. "Such a good room." Pujinya melihat sekeliling kamarku. Aku segera memberesi buku milikku dan memasukkannya ke dalam tas. Sedangkan Harry membuka lemariku dan mengeluarkan seluruh isi di dalamnya.

Harry mengambil koper, membukanya dan memasukkan seluruh pakaianku kedalam sana. Tidak menyisakan satupun. "Apalagi yang akan kau bawa?" Tanyanya melihat ruang kosong di koperku. Bajuku memang tidak terlalu banyak, sisanya masih tertinggal di rumah nenekku dan sebagian sudah ku bawa kemari.

"Tidak ada." Balasku sudah siap. Aku sendiri mengenakan baju yang Harry pinjamkan untukku. Sebuah kemeja yang kebesaran dan celana jeans miliknya. Itu sudah cukup untukku pergi ke sekolah mengingat hari ini bukan hari seragam.

"Baiklah, mari keluar dari sini. 15 menit lagi kau akan terlambat." Harry menyeret koperku keluar kamar dan aku mengekorinya di belakang. "Zayn." Sapa Harry melewati tubuh Zayn yang ternyata ada di depan kamarku.

"Aku benci mengatakan ini tapi jaga dirimu baik baik. Tunggu aku." Ucap Zayn padaku ketika aku melewati dirinya.

Aku mengangguk menebar senyum padanya. Aku percaya dengan Zayn. Ia pasti akan menebusku. Ia adalah kakak terbaik di dunia walaupun kadang sangat kasar. "Jaga dirimu juga Zayn. Jangan biarkan dirimu kelelahan."

Zayn mengangguk lalu membawa tubuhku ke depan pintu. Ia membiarkan aku berjalan ke mobil Harry sendirian, Harry sudah menungguku di dalam mobil. "Faster, babygirl. We're 'bout to late."

Aku sedikit mempercepat langkahku untuk sampai ke pintu penumpang. Begitu masuk mobil dan tanpa menungguku memakai safety belt lebih dulu, Harry langsung menginjak pedal gasnya dan membawaku menjauh dari lingkungan rumah. Aku menoleh ke arahnya, melayangkan tatapan protes namun tidak di gubris sama sekali. Yang ia lakukan hanya menyetir sembari memasang senyum miring.

15 menit kemudian kami sampai di depan sekolahanku. Aku mengambil tas lalu hendak turun namun di cegat oleh Harry. "Jam berapa kau keluar dari kelasmu?"

"Kau tidak perlu menjemputku." Balasku acuh.

"Jam berapa, baby?" Harry menggenggam tanganku lebih kuat, memancarkan tatapan seriusnya padaku.

"Dua siang." Balasku sedikit takut. Ia tersenyum kemudian melepaskan diri dariku. Buru buru aku keluar dari mobil sebelum dia bertindak lebih jauh lagi.

"I'll pick you up! Wait for me!" Teriaknya membuatku malu. Aku menundukkan diri dan semakin mempercepat langkahku menuju kelas. Persetan dengan dirinya.

Kriinggg

Bel masuk berbunyi kencang. Aku segera berlari, sempat menubruk beberapa orang hingga mencapai kelasku. Di meja aku sudah disambut heboh oleh sahabatku, Nadine. "Kau terlambat, Sheryl? Sesuatu terjadi padamu?"

Aku memang tidak pernah terlambat sebelumnya, wajar jika Nadine terheran heran melihatku. "Sedikit kendala di jalan, Nadine. Tapi aku baik baik saja. Jangan khawatir."

"Ewh!" Desisnya pura-pura muntah. Aku terkekeh melihatnya seperti itu, ia adalah gadis paling peduli denganku namun begitu naif mengakuinya. Sama persis seperti Zayn. "Tunggu sebentar. Apa aku melewatkan sesuatu? Kau terlihat berbeda kali ini."

"Berbeda?" Aku meneguk ludah kikuk, tubuhku sedikit bergeser membenarkan tempatku duduk. "Memang aku terlihat berbeda?"

"Ya. Seperti ada sesuatu yang hilang." Nadine menyapu seluruh tubuhku dengan pandangannya, membuatku sedikit merasa risih. Apa dia seekor cenayang yang bisa melihat hilangnya keperawanan ku? Jika iya maka matilah aku. Aku pernah mengatakan padanya jika aku mempercayai prinsip no sex before married. Tapi nyatanya mahkotaku direnggut oleh pria tua kaya raya yang sudah memiliki istri.

"Tidak ada yang hilang, Nad. Mungkin hanya jam tidurku yang sedikit berkurang." Balasku membuatnya percaya dan mengangguk-angguk mengerti. Ia melihatku sekali lagi lalu melepas pandangannya dariku ketika seorang dosen datang dan menyapa kami semua.

"Sheryl," panggil Nadine sedikit berbisik.

"Ya?" Balasku menoleh padanya.

"Aku kehilangan perawan ku di umur empat belas tahun. Illegal memang, tapi aku menikmatinya. Kau kapan?"

Nafasku menderu ketika Nadine menanyakan itu padaku. Buru buru ku alihkan percakapannya pada dosen yang mengabsen kami satu persatu. Jangan tanyakan hal sensitif itu, Nadine. Aku tidak siap mengingat semuanya tadi malam. Batinku menjerit jerit.

To be continue....

Racing (COMPLETE)Onde histórias criam vida. Descubra agora