Chapter 23

76.4K 9.2K 4.6K
                                    

Hai... maaf baru bisa update. Dua hari kemarin aku lagi kurang enak badan 🙏🏻 Terima kasih untuk kesabaran dan pengertiannya menunggu update-an cerita ini. Sehat selalu buat kalian 💜💜

Dan buat teman-teman yang sedang menjalankan ibadah puasa, semoga lancar dan berkah 😇 🙏🏻

Note: sebelum ketemu TBC di akhir, artinya punya kalian kepotong. Refresh solusinya.




Happy Reading



***
Dalam diam, Rion masih terduduk di pojok ruang latihan sambil menyeka darah segar yang kembali mengalir dari hidung bangirnya setelah hantaman London mendarat sempurna di sana. Tidak sama sekali terasa sakit, tetapi cukup mampu mengusik ketika ia hilang fokus hanya karena jawaban bocah itu. Jawaban yang tidak seharusnya menjadi urusan Rion. Sedikit pun, ia tidak perlu terkecoh.

Rion bangkit dari duduknya setelah cukup lama menenangkan diri. Ia hanya perlu mandi air dingin untuk menjernihkan pikiran. Semuanya benar-benar sudah di luar batas kewajaran. Ia tidak pernah sekekanakan ini menghadapi apa pun. Ia selalu tenang dan terkendali. Tidak pernah sekalipun dilahap habis oleh emosi. Lebih parahnya lagi, ia tidak tahu pasti pemicu utamanya. Entah rasa kecewanya pada Allea, atau fakta bahwa kini ia telah tergantikan semudah itu oleh keponakannya.

Hanya baru satu helaan langkah keluar dari pintu, entakkan langkah tegas dari depan Rion membuat kepalanya mendongak—menemukan Rigel yang berjalan cepat ke arahnya. Kedua tangannya terkepal, ekspresinya gelap—tidak ada sedikitpun raut slengean dan menyebalkan seperti biasa. Hitam pekat, seakan siap meringsekkannya.

Dan ... benar saja. Di detik selanjutnya, tinjuan telah terhantam keras ke tulang rahang Rion hingga menghasilkan bunyi krek yang terdengar ngilu. Berkali lipat jauh lebih keras dari yang dilakukan anak pertama lelaki itu. Cukup sakit, jelas. Yang memukulnya barusan adalah mantan Mafia kecil pada masanya.

Rion masih tidak memprotes, pun tidak ada perlawanan apa pun bahkan ketika Rigel membanting tubuhnya ke dinding belakang, mencekik lehernya dengan wajah merah padam.

"Apa yang udah lo lakuin sama anak gue?!" hardiknya tajam. "Lawan gue, jangan anak gue, anjing!"

"Anak lo ngadu?" Rion tidak tampak kesakitan, menatap Rigel dengan netra sayunya. Kepalanya sudah seperti benang kusut, sulit sekali diuraikan. Ia kewalahan pada hal yang tidak benar-benar ada.

"Beraninya lo sentuh anak gue!" desisnya, seraya menekankan cekikan semakin dalam ke tulang leher adiknya. "You're still nothing for me, Yon. Gue bisa injak lo sampai mampus—lo pasti tahu segila apa Kakak lo ini."

"Gue ngajak dia latihan."

"Latihan...?" Rigel menautkan alis—tampak menyeramkan. "Bagaimana kalau gue patahkan batang leher lo, dan gue anggap ini cuma sekadar latihan?"

Rion mengembuskan napas panjang, terlalu lelah jika harus adu argumen lebih banyak lagi. "Rei, coba aja jika lo serius. Minggir, kalau itu cuma gertakkan. Gua capek."

"Lo pikir gue bercanda?" Rigel memicingkan mata, semakin naik pitam. "Dengan mudah, Cak, gue bisa menghabisi lo—di detik ini juga!"

Rion terkesiap, ketika Rigel kian erat meremas batang lehernya hingga ia kesulitan bernapas.

"Jangan pernah menyentuh anak gue, brengsek!"

Dan tidak kalah cepat, gerakkan Rion terarah pada leher Rigel dan balas mencekiknya sambil membanting tubuh Rigel ke dinding berlawanan.

"Coba aja kalau bisa!" decitnya dingin. "Tolong, berhenti sekarang. Gue lagi nggak mood untuk melayanin bacotan kosong lo!"

Kedua tangan mereka saling mencekik, dengan pandangan yang sama-sama tersorot kejam.

Chasing YouWhere stories live. Discover now