“Auw!”

Tanganku refleks mundur saat Rafael meringis pelan. “Maaf.”

Dia menggeleng lantas membiarkanku melanjutkan. Suasana mendadak hening. Ah sial. Aku benci ini. Lagi-lagi jantungku berdetak hebat bahkan kurasa nyaris meledak. Aku hanya berharap Rafael tidak mendengar dentumannya.

“Kamu....”

Aku berhenti dari kegiatanku mengompres wajahnya. Mata kami beradu. Ada sorot yang tidak bisa kubaca pada netranya. Rafael bahkan tidak memutus kontak terlebih dulu, dia malah makin membuatku salah tingkah.

“A-ada apa, Pak?” tanyaku mengerjap.

“Tadi itu, kenapa kamu menangis? Kamu nggak diapa-apain mereka  ‘kan? Sa-saya sangat cemas saat kamu belum juga kembali. Jadi, saya menyusul kamu.”

“Saya nggak apa-apa, Pak. Tadi itu saya menangis karena takut—“

“Takut apa?”

“Sa-saya takut Bapak kenapa-kenapa.”

Pandanganku langsung menunduk. Aku tidak tahan lagi ditatap seperti itu. Tapi aku sempat melihat ekspresi wajah Rafael yang terlihat agak sedikit terkejut.

“Kamu ... takut saya kenapa-napa karena memandang saya sebagai atasan kamu atau karena saya laki-laki yang punya arti buat kamu?”

Deg!

Aku tidak pernah menduga Rafael akan mengajukan pertanyaan seperti itu. Bagus Kalila, sekarang kamu mau jawab apa?

“Sa-saya ... hanya ... tadi itu ... saya tidak tau ... maksud saya, itu saya sangat khawatir kalau saja Bapak—“

“Mulai sekarang, berhenti memanggilku Bapak. Dan, kamu boleh bersikap biasa saja saat kita berada di luar kantor. Aku-kamu.”

Rafael mengambil kantong es yang berada di tanganku. Rautnya seketika berubah. Dia bangkit dari duduknya dan beranjak.

“Aku akan mengantarmu pulang sekarang.”

Perubahan sikap Rafael malah membuatku tak nyaman. Aku gelisah di tempat. Kenapa aku jadi seperti orang bodoh?

Aku mengangkat wajah dan bicara secepat mungkin. “Saya khawatir karena peduli. Saya nggak mau terjadi sesuatu sama kamu terlebih lagi penyebabnya saya. Saya nggak bisa membayangkan bagaimana jadinya seandainya kamu kehilangan nyawa. Saya benar-benar takut. Saya sangat takut mereka melukaimu.”

Langkah Rafael terhenti, sedang aku tidak bisa lagi membendung air mata yang tumpah kembali. Rafael bergegas menghampiriku, dia terlihat panik saat aku menangis hebat. Aku merasa kacau. Pengendalian diriku payah. Sampai tangan kokoh itu meraihku dalam pelukannya pun aku masih terus terisak.  Tapi anehnya, berada di dekapannya membuatku merasa tenang dan nyaman.

“Aku minta maaf, tidak seharusnya aku mengajakmu ke sana.” Rafael mengeratkan pelukannya. “Maaf, sudah membuatmu khawatir.”

Dan aku makin tergugu dalam pelukannya. Menumpahkan segala yang menyesakkan dada. Rasanya sangat lega menangis seperti ini. Tidak ada yang bisa aku salahkan di sini. Aku sadar, sesadar-sadarnya bahwa aku mencintainya. Dan aku sepertinya akan kesulitan untuk menjauh dari Rafael.

Rafael baru melepas pelukannya saat aku berhenti menangis. Menangkup wajahku dengan kedua tangannya. Mengusap sisa-sisa air mata menggunakan kedua ibu jarinya. Pandangannya sangat lembut.

“Kalila, terima kasih kamu sudah mau mengkhawatirkan aku. Dari dulu dan sampai saat ini, perasaanku masih sama. Aku tetap mencintai kamu.”

A-apa? Dari dulu? Aku menatapnya tak percaya.

Rafael mengangguk seolah mengerti apa yang aku pikirkan. “Maaf, karena aku tidak jujur dari awal pertemuan kita. Aku hanya ingin tau sedalam apa perasaanku tanpa melibatkan Kalila yang dulu aku kenal di sekolah. Tapi ternyata, aku malah makin yakin kalau tidak bisa lagi kehilangan kamu.”

Dengan segenap perasaan yang campur aduk, aku membiarkan Rafael terus bicara. Jadi, dia sama sekali tidak lupa.

“Kalila, izinkan aku masuk ke duniamu. Tolong, jangan menjauh.”

Aku membeku. Bahagia atau sedih? Sulit menyimpulkan apa yang aku rasakan sekarang.

Aku masih saja bergeming. Bahkan saat wajah Rafael kian mendekat. Hingga bibirnya jatuh tepat mengenai bibirku.

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
In Between 1 (END)Where stories live. Discover now