22 - The Vow

4.1K 390 52
                                    

River melangkahkan kakinya di sepanjang jalan berbatu tepi sungai Neckar di pinggiran kota Heidelberg. Musim gugur hampir berakhir, namun Heidelberg masih sedikit menawarkan kehangatan di banding tempat lain, dan berada disini tidak membuat River terlalu membenci musim dingin.

Merogoh kantong celana, River mengeluarkan ponselnya. Telpon dari Sunny. Ia mendesah, sudah ia beritahu belum bahwa selama setahun ini ia sama sekali tidak bertemu dengan wanita itu. Hari itu saat ia sudah menemui ayahnya di London, River mendengar kabar bahwa Sunny bertemu dengan Savannah. Mereka membicarakan semuanya, termasuk alasan Sunny menyembunyikan rekaman video itu. Jadi bisa tidak River katakan bahwa urusannya dengan Sunny sudah selesai sejak saat itu.

Mengenai telponnya? hmm River memang beberapa kali mengangkat telpon demi kesopanan dan yah dulu wanita itu pernah River cintai dan mereka juga bersahabat bukan? Dan benar hanya sebatas itu, River bisa menjaminnya.
Di luar semuanya River juga tidak memiliki alasan untuk menghindar. Semua ini salahnya kan, walaupun menurut yang lainnya Sunny bersalah dengan perbuatannya waktu itu, River menganggap semua adalah akibat dari kesalahannya sendiri.

Jadi jika nanti Savannah memaafkannya dan keberatan dengan telpon Sunny, mungkin saat itu ia akan berhenti. Savannah sudah sangat cukup di jadikan alasan untuk benar-benar menjauhi wanita itu.

River menghentikan langkahnya di depan sebuah cafe dengan ukiran nama besar 'Swan Cafe'. Ia tersenyum sebelum melangkah untuk menggapai pintu dan membukanya.

"Selamat da...tang." Sapaan itu datang dari Savannah yang berdiri di dekat pintu masuk.

River menahan dirinya sendiri untuk tidak langsung memeluk wanita itu. Seperti yang selalu ia bayangkan, Savannah terlihat lebih cantik dan segar. Rasa kerinduan bahkan membuat River membeku, ia hanya menatap Savannah, tidak menemukan suara untuk memulai pembicaraan yang sudah di susunnya jauh-jauh hari.

Mata wanita itu melebar dengan tarikan napas panjang. Ia tentu saja kaget melihat River berdiri di ambang pintu cafenya dengan tidak tahu diri seperti hari ini.

"Maafkan aku."

River mengumpat dalam hati. Dari banyaknya kata yang ia siapkan, kenapa kata itu yang keluar lebih dulu.

Savannah menatapnya dengan sorot mata kecewa yang tidak di tutup-tutupi. "Aku sudah memaafkanmu." Gumamnya pelan.

"Aku merindukanmu."

Boleh tidak River menampar dirinya sendiri sekarang? Setelah mengatakan maaf, kini rindu? kata-kata yang tidak tepat, apalagi saat ia melihat kerutan di dahi Savannah.

"Ijinkan aku memperbaiki semuanya." Ia meringis, ada apa dengan otaknya? kenapa selalu mengatakan sesuatu yang tidak tepat.

Menarik napas, Savannah menunduk, seperti menahan air matanya keluar. "Apa-apaan ini. Bahkan waktu dua menit yang kuhabiskan denganmu disini, membuatku merasa lemah."

Savannah mendongak, River bisa melihat kesedihan disana. Pekat dan gelap. Dan membuatnya mengernyit nyeri.

"dua menit yang kuhabiskan untuk kembali jatuh cinta padamu dan kau yang tidak pernah balas mencintaiku."

Apa? coba ulangi? Savannah mencintainya? Sejak kapan? Tapi bagaimana bisa?

"Savannah-" River belum menyelesaikan ucapannya ketika Savannah berteriak untuk menyela.

"Aku tidak bisa!" Savannah mundur satu langkah menjauhinya. "Aku tidak bisa bersama orang yang tidak menginginkanku dan menganggap anakku sebagai sebuah kesalahan!"

River tertegun, menatap wanita yang kini sudah menangis didepannya dengan perasaan yang campur aduk.

Menarik napas, River memejamkan matanya, mengatur otaknya agar tidak kembali mengatakan hal yang tidak pada tempatnya. "Aku minta maaf," ucapnya pelan. "tapi bukan untuk malam itu. Aku mengatakan bahwa semua itu adalah kesalahan karena aku tau hal itu sudah menghancurkan hidupmu, hal yang sangat kau sesalkan."

The VowWhere stories live. Discover now