Prolog

12.4K 578 5
                                    

Every night, I laid awake with your memories flooding through my eyes with the hope to be with you when sleep arrived.

Savannah menutup bukunya. Tanpa mendongak, ia menyesap teh lemon yang hampir dingin.

Heidelberg adalah kota yang sangat indah saat musim gugur tiba. Daun-daun menguning dan angin sejuk menyapa dengan sangat anggun. Belum pernah Savannah begitu mencintai musim gugur seperti saat ia duduk di cafe ini dan menikmatinya dari balik kaca.

Jam sudah menunjukkan pukul 10. Waktunya untuk menjemput si kecil Swan yang mulai aktif belajar mengenal warna dan huruf di playground tak jauh dari sini.

"Savannah, ijinkan aku menjemput Swan hari ini."

Natasha melepas apronnya, menghampiri Savannah sambil menyunggingkan senyum lebar.

"Apa kau sedang menghindari Dean."

Tertawa sumbang, Natasha mengangkat tangan di pinggang. "Jangan terima dia jika masih berani datang ke sini."

Savannah mengendikkan bahunya. "Seingatku cafe ini kubuat untuk membiarkan siapapun masuk. Tanpa terkecuali." katanya penuh penekanan pada kalimat terakhir.

"oh aku mengaku kalah, Mam."

Natasha selalu memanggil Savannah dengan 'Mam' saat sedang mengejeknya.

"Pergilah Nat, aku tidak ingin Swan menunggu terlalu lama."

Sepeninggal Natasha, Savannah membersihkan cangkir bekas minumnya dan mengembalikan buku di rak yang ada di sisi ruangan.

Cafe ini di buat dengan konsep santai dan hangat. Savannah sengaja meletakkan rak buku besar juga berbagai jenis game offline yang mungkin bisa di mainkan pengunjung saat datang kesini.

Game.

Savannah buru-buru menggeleng, membuang apapun yang kini mulai membayangi pikirannya.

Bel di atas pintu cafe berdenting. Savannah mengulas senyum dan menoleh.

"Selamat da...tang." Sapanya terputus saat melihat pria yang melewati pintu.

Pria itu berdiri tegak tidak jauh dari Savannah yang membeku. Mata biru gelapnya menatap Savannah lekat seolah tidak ada satupun yang bisa mengalihkannya. Ia memakai kemeja putih yang lengannya di gulung asal dan celana jeans gelap. Wajahnya tampak tirus dengan kumis dan janggut tipis yang belum di cukur, juga rambutnya yang kini tidak serapi dari yang terakhir kali Savannah lihat.

"Maafkan aku."

Satu kata yang keluar dari bibir itu terasa menusuk ulu hati. Bukan... Bukan ini yang ingin Savannah dengar saat mereka bertemu lagi setelah satu tahun ia melarikan diri!

"Aku sudah memaafkanmu."

"Aku merindukanmu."

Ada sesuatu di mata pria itu yang membuat hati Savannah mencelos.

"Ijinkan aku memperbaiki semuanya."

Menarik napas, Savannah menunduk, menghalau air matanya yang mendesak ingin keluar. "Apa-apaan ini. Bahkan waktu dua menit yang kuhabiskan denganmu disini, membuatku merasa lemah."

Mendongak Savannah memberanikan diri untuk menatap pria di depannya dengan tatapan sayu.

"dua menit yang kuhabiskan untuk kembali jatuh cinta padamu dan kau yang tidak pernah balas mencintaiku."

"Savannah!"

"Aku tidak bisa!" Savannah mundur satu langkah menjauhinya. "Aku tidak bisa bersama orang yang tidak menginginkanku dan menganggap anakku sebagai sebuah kesalahan!"

The VowWhere stories live. Discover now