Bab 8 | Bukan Anak Bunda

7.8K 745 17
                                    

Ardan mendorong pintu masuk, tapi rasanya kenapa sulit sekali?

"Tunggu, terkunci?"

Ardan berlari ke pintu belakang dan pintu samping rumah. Tapi hasilnya sama, kedua pintu itu sama-sama terkunci. Sayangnya, Ardan tidak diperbolehkan memiliki kartu (kunci pintu) untuk masuk rumahnya. Bisanya, hanya menghela nafas, menenangkan jantungnya yang sempat panik tadi.

Jadilah dirinya hanya duduk di teras rumah, memeluk kedua kakinya yang ditekuk. Ardan melihat sekeliling halaman rumah, tidak ada siapapun disana, padahal biasanya ada satpam, dan tukang kebun. Entahlah, Ardan sendiri tidak mengerti apa yang sedang terjadi hari ini. Cukup lama ia berada di sekolah, bahkan ia terlambat tiga jam untuk pulang sekolah karena pingsan.

"Ya Alloh....tolong hamba nggak tau gimana caranya bisa masuk rumah, tubuh hamba udah capek banget Ya Alloh...."

Bisa dirasakan Ardan. Kepalanya pening menampilkan pandangan yang berputar, belum lagi persendiannya yang banyak terasa nyeri. Ardan yakin pasti penyakitnya sudah meluas, entah sudah tahap keberapa. Dirasakannya saat dirinya melakukan pekerjaan yang berat sedikit saja, pasti tubuhnya itu langsung merespon penyakit yang bersarang disana.

"Ya ampun....pake ketinggalan segala sih?!"

"Oh....dia nggak bisa masuk toh..."

Mendengar suara kesal dan decakan jengkel itu, Ardan perlahan mengangkat kepalanya yang ditelungkup. Ditemukanlah sepasang sepatu di depannya, disertai pintu rumah yang sudah terbuka. Ardan buru-buru berdiri, meski satu langkah ia sudah terhuyung, tapi anak itu tetap masuk ke dalam menyusul pemilik sepatu yang ada di hadapannya.

"Kakak!" Sekali panggilan itu tidak direspon, Ardan mencobanya sekali lagi, "Kak! Mau kemana? Ayah dan Bunda kemana? Kakak akan disini kan? Kak---"

"Berisik!" bentak Harris, matanya menatap sinis pada Ardan, kemudian kakinya mendekat ke tempat dimana Ardan berpijak, "terus tadi bilang apa? Kakak? Aku bukan Kakakmu!"

Sret!

Sudah biasa memang, tapi rasanya tetap saja menyakitkan. Tangan Harris mencengkram kuat dagu Ardan, menatapnya dengan tatapan kebencian yang terlihat jelas. Ardan ingin sekali menunduk, berhenti berkontak mata, tapi kan dagunya tengah dipaksa diangkat.

"Satu lagi, jangan pernah panggil Ibu dan Ayahku itu sebagai orang tuamu, mereka bukan orang tuamu!" Harris melepaskan kasar cengkramannya, tapi ketika mendengar kalimat kakaknya, ketakutan Ardan sekejap sirna, ingin meralat kalimat kakaknya itu.

"Tapi bunda juga yang melahirkanku....sama dengan Kakak"

Plak!

Tubuh Ardan limbung ke kanan, saat pipinya ditampar keras oleh Harris. Sebenarnya bukan hanya itu, kepala Ardan yang berdenyut hebat, juga menjadi sebab tubuhnya tumbang begitu saja. Ardan menarik nafasnya, menetralkan nafasnya yang sempat menggebu. Tangannya ia kepal, matanya ia pejam kuat untuk mengurangi rasa sakit yang ia rasakan sekarang.

"Aku tau, tapi kau adalah ANAK HARAM! Ibuku.....tidak akan sudi menerimamu, bangsat!" Harris menatap puas melihat keadaan Ardan yang begitu lemah. Hatinya seperti memunculkan rasa bahagia kala tertampil wajah kesakitan itu.

Bugh!

"Ergh!" Ardan meremat perutnya, dahinya mengernyit tanda bahwa dirinya merasakan sakit yang lebih ketika kaki Harris mendarat kasar di perutnya.

.

.

.

Ardan [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang