Bab 6 | Parasit

7.8K 798 37
                                    

"Ardan nggak bisa dibawa"

"Maksudnya, Mas?" Seorang wanita berumur empat puluhan itu mengerutkan dahinya, belum bisa menangkap dengan jelas yang diucapkan suaminya. Tak luput juga pandangannya dari wajah suaminya yang terlihat gundah dan gelisah, disertai rasa ingin tau yang mencuat keras di hatinya.

"Aku udah coba bujuk Rakha untuk tidak menyakiti anaknya lagi, tapi mau bagaimanapun Rakha tetap anggap Ardan itu bukan anaknya, dia malah yang mengancamku." jelas Gama pada istrinya, kemarin memang mereka berencana untuk pindah ke Jakarta. Tentu saja urusan adik mereka yang tidak bisa mengurus anak dengan benar.

"Tadi juga....kondisi Ardan nggak baik, Rakha nggak main-main mukul Ardan, bahkan sampai banyak sekali goresan di punggung, perut, ah....mungkin hampir seluruh badan Ardan." lanjut Gama, membuat Arumi merenung mendengarnya, dia ingin sekali menyelamatkan Ardan dari kekangan adik iparnya yang kejam. Apalagi, Arumi masih yakin jika Ardan itu bukan hasil hubungan gelap Hanum dengan pria lain.

"Lagian kenapa kamu yakin banget Ardan itu masih anaknya Rakha?" tanya Gama penasaran, yang pertama berasumsi soal itu adalah istrinya.

"Entahlah, Mas. Aku cuman ngerasa pas melihat wajah Ardan itu, aku pasti inget sama wajahnya Rakha"

Gama menghela nafas, "mungkin perasaan kamu aja, lagian sudah jelas juga Hanun melakukan hal itu di rumahnya Rakha"

"Tapi, Mas! Udah dapet sampel rambutnya Ardan sama Rakha?"

"Eh? Udah"

"Kita cobain dulu, Mas. Kalau memang bukan, yasudah mau diapain lagi. Soalnya, kata Hanum, lelaki yang diselingkuhinya itu meninggal dalam sebuah kecelakaan maut."

.

.

.

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

.

.

.

"Ayo, Bun"

Wanita yang dipanggil itu tersenyum kemudian meraih tangan halus anaknya untuk masuk ke sebuah rumah, mungkin sudah enam belas tahun lamanya ia tidak mengunjungi rumah ini. Air matanya mengalir saat langkah pertama ia menginjakkan kakinya di lantai marmer, tepat di ruang tengah rumah milik keluarga Bachtiar itu.

"Bun....jangan nangis, sekarang Bunda kembali ke rumah ini. Ini rumah Bunda lagi" ucap Harris dengan senyuman indah di wajahnya, selama enam belas tahun itu juga senyuman itu terkubur dalam, tapi kini senyuman itu kembali terbit karena seorang wanita yang begitu ia cintai.

"Siapa, Ris?!"

Deg!

Kedua manik mereka bertemu, memperlihatkan sirat kasih sayang yang masih terpendam. Tidak pernah bisa dipungkiri jika Rakha masih sepenuhnya mencintai istrinya, iya, bahkan mereka belum melakukan prosedur perceraian selama enam belas tahun. Rakha tidak bisa memunculkan rasa benci ketika rasa cintanya sudah begitu dalam.

Begitupun, Hanum. Wanita itu memilih perselingkuhan bukan karena ia sudah tidak mencintai suaminya lagi, tapi karena ia masih butuh perhatian dari seorang lelaki yang menyayanginya. Sayangnya, malam itu terjadi tepat di depan mata Rakha yang baru saja pulang dari Berlin. Membuat segala perasaan cinta dan rumah tangga yang telah mereka bentuk seindah mungkin hancur dalam sekejap, dalam satu kalimat yang menyimpan perasaan berat hati.

"Kenapa lagi kamu kesini?" Rakha memalingkan wajahnya, tak ingin terlihat lemah dengan memperlihatkan matanya yang berkaca-kaca. Rakha mengakui jika kerinduannya sedang meronta.

"Mas....aku minta maaf...." Satu kalimat dan satu gerakan lutut yang menyimpuh di hadapan pria yang tengah diajaknya bicara. Harris bergerak, tak ingin melihat sang Ibu merendahkan dirinya demikian, karena baginya ibunya tidak sepenuhnya salah, tidak salah jika ibunya membutuhkan kasih sayang seorang suami, tapi ayahnya tidak bisa memberikannya.

Hanum mendongak, saat ada seseorang yang ikut berlutut di hadapannya. Rangkulan Harris terlepas, namun ada tangan lain yang menggantikan untuk menggenggam pundaknya, kemudian membantu wanita itu berdiri, tangan kekarnya menghapus pelan air mata yang lolos hingga mengalir di pipinya. Itu Rakha, pria itu tidak sanggup melihat wanitanya serapuh ini.

"Aku yang minta maaf, karena saat itu nggak bisa terus mendampingi kamu, padahal kamu benar-benar butuh aku, maafin aku...." Tangannya menarik Hanum ke dalam dekapannya, menenangkan tubuh yang bergetar karena menangis itu. Disana, Harris melihatnya sampai tak sengaja air matanya mengalir, sungguh ia sangat bahagia jika sudah seperti ini. Janjinya, ia akan melakukan apapun agar tidak ada yang bisa memisahkan ayah dan ibunya lagi.

Sepersekon kemudian, atensi Hanum terarah pada seorang remaja dengan tubuh kurusnya. Berdiri di pojok ruangan, sambil kedua tangannya berpegangan pada meja panjang yang ditaruh sebagai hiasan di ruang tengah, menahan beban tubuhnya yang mungkin akan limbung sewaktu-waktu. Hanum seperti mengenal remaja itu, tapi seingatnya ia belum pernah bertemu.

"Mas....itu siapa?"

Tingkat bahagia Rakha langsung kenurun drastis saat melihat Ardan di pojok ruangan sana, dengan pakaiannya yang sedikit lusuh, itu setel pakaian terakhir yang dimilikinya. Pakaian Ardan memang hanya berjumlah sedikit, makanya ia harus mencuci setiap hari agar ia masih bisa beribadah dengan pakaian yang layak. Kembali pada Rakha, wajahnya yang berubah tak suka, juga tatapan cinta yang berubah menjadi benci.

"Itu anak haram yang kau hasilkan" sinis Rakha, sebenarnya tak ingin menyakiti hati istrinya, malah lebih kepada menyindir remaja yang berdiri di pojokan itu.

Ardan mendengarnya jelas, meski dengan rasa perih dan pening di kepalanya, namun telinganya masih bisa menangkap suara dengan baik. Kepalanya sontak menunduk, Ardan sangat menyadari kesalahannya karena berada di keluarga yang sudah bahagia seperti ini. Rasanya ia benar-benar seperti parasit yang muncul di sebuah keluarga kecil yang bahagia.

"Mas....aku nggak mau liat anak itu, Mas....tolong...." Tangis Hanum kembali pecah. Tapi, tidak ada yang lebih menyakitkan daripada hati Ardan hari ini, tidak salah lagi jika air matanya juga ikut meluncur bebas, menangis dalam diam adalah keahliannya sekarang. Ditambah, setelah setetes air mata itu jatuh, Ardan langsung menghapusnya dan menahan tetesan lain yang akan mengalir dengan sengaja.

"Tenang, Sayang....anak itu hanya menumpang di rumah ini, ia akan membayar semua sewanya dengan kerjanya di rumah ini, dia bukan siapa-siapa kok, Sayang...." Panggilan itu kembali dilontarkan, sekaligus kalimat menyakitkan yang kembali mengiris hati remaja yang masih berdiri disana.

"Lalu? Untuk apa kau berdiri disana? Masakkan makanan yang enak untuk kami" Harris mengambil alih, pria itu berucap angkuh pada Ardan. Tanpa sepatah katapun untuk menjawab, Ardan hanya langsung beranjak menuju dapur.

"Terima kasih karena masih menganggapku ada disini, setidaknya. Kalian tidak akan menyimpan anak menjijikkan seperti ini lagi, tunggu sebentar lagi saja, setelah itu kalian akan sepenuhnya bahagia, tanpa ada parasit sepertiku. Maafin Ardan Bunda"




 Maafin Ardan Bunda"

Oops! Ang larawang ito ay hindi sumusunod sa aming mga alituntunin sa nilalaman. Upang magpatuloy sa pag-publish, subukan itong alisin o mag-upload ng bago.

Jadiiii gituuuu....
Sehat terus semuanya yaaa....

Ardan [TERBIT]Tahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon