"Tunggu sebentar, ya. Sayurnya masih Bunda panasin."

"Iya, nggak papa."

“Raanan mau teh hangat?”

"Nggak perlu repot-repot—“

“Nggak, kok. Bunda bikinin, ya.”

Mengulas senyum tipis, Raanan mengangguk. “Terima kasih.”

Sementara Bunda kembali bergelut di dapur, Januar kini sudah memasang senyum mengejek.

"Piyama lo kayak piyama anak gadis. Ada gambar barbie-nya, ewh." Ia mengibaskan tangannya pura-pura memasang mimik jijik.

"Ini moomin, bukan barbie. Lagipula Moomin jantan."

Raanan berjengit saat tiba-tiba Januar menarik ujung piyama-nya, memandangi kain itu dengan seksama.

"Mana? Nggak ada belalainya, tuh."

"Terserah." Raanan mengelus dada dengan telaten. Mungkin ia harus menyetok ekstra kesabaran untuk beberapa hari ke depan.

"UHUK UHUK--"

“Tejus teruuuuus," sahut Bunda yang sudah kembali dengan secangkir teh hangat, memberikannya pada Raanan yang dibalas gumaman terima kasih lagi.

“Ih, bukan. Januar minum mijon tadi.”

“Nahkan lagi kan.”

Raanan tertawa samar melihat Januar yang meringis kesakitan akibat dijewer Bunda. Setelahnya, hanya suara televisi dan sesapan teh hangat Raanan yang meramaikan ruangan.

Hingga Bunda memberanikan diri kembali membuka pembicaraan.

“Raanan mau cerita ke Bunda? Kalau nggak nyaman, nggak usah. Nggak papa.”

Sang lawan bicara bungkam, menatap jemari keriput Bunda yang mengusap halus ujung lututnya.

Haruskah ia bercerita ... lagi? Bukankah ini aib marga Andika? Keluarganya bisa nyalang kalau sampai tahu....

"Nggak papa kalau belum bisa cerita ke Bunda--"

"Saya dibuang Mama Papa."

Mata Bunda membulat, berangsur menatap sendu punya Raanan yang sudah berkaca-kaca. Sepanjang laki-laki itu bercerita, Bunda terus mengusap lengannya dengan telaten, menguatkan bahwa semuanya tak apa-apa. Sedangkan Januar kembali mendengarkan penjelasan yang sudah didengarnya beberapa jam yang lalu sambil sesekali membalasi pesan dari gadis-gadis sekolah.

“Yang sabar ya, nak. Orang tua memang suka egois," ucap Bunda di penghujung cerita. “Kamu boleh tinggal di sini kapanpun kamu mau. Rumah Bunda dan Januar selalu terbuka lebar untuk kamu.”

“Terima kasih...,” lirih Raanan parau.

Entahlah ia merasa sangat lega setelah mencurahkan segala keluh kesahnya yang sudah ia pendam sendiri selama tujuh belas tahun lamanya. Bahkan kali ini ia menceritakan semuanya tanpa menutup-nutupi barang setitik pun, tidak seperti di warkop tadi.

Selega inikah bercerita pada seorang Ibu?

“Nah, mending sekarang kalian tidur. Besok sekolah, kan?"

"Iya...."

Untuk terahir kalinya Bunda mengusap lengan Raanan dan membisikkan kata-kata penenang sebelum dua remaja dengan tinggi paradoksal itu beranjak ke kamar Januar.

Sekitar setengah jam Raanan hanya melamun di atas kasur, memandangi langit-langit kekuningan di antara temaram yang melanda. Memikirkan dan mengulas ulang apa yang sudah ia lewati malam ini.

youth | nct dream ✔जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें