Aku memutar bola mata. “Dia ngomong apa aja?”
“Nggak banyak sih. Tapi dia nanya lo masih free apa udah taken.”
Kenapa aku deg-degan mendengar Ersa bicara begitu?
“Trus lo jawab apa?” tanyaku pelan.
“Menurut lo gue bisa bohong?”
Mataku terpejam. Jika Rafael sudah tahu aku memiliki pacar, tak mungkin dia berani melakukan hal bodoh tadi.
“Gue kira dia dateng ke kafe gue karena mau caper ke gue. Kan gue jadi ge-er. Pantes aja ya lo tergila-gila sama dia, gantengnya masyaAllah banget.” Ersa mengerang.
“Jadi sekarang? lo juga naksir dia?”
“Emang boleh?”
“Boleh aja sih kalau dia naksir balik lo.” Aku tertawa jahat. “Lagian nih ya, cowok kayak dia nggak mungkin banget masih free.”
“Iya juga sih. Tapi feeling gue sih dia free, Lil.”
“Jadi?” Aku mengakhiri kegiatanku membersihkan wajah.
“Jadi kalau dia suka sama lo gimana? Kasian Wishnu sih tapi laki-laki kayak gitu juga sayang banget disia-siain.”
Tidak konsisten nih anak.
“Tempo hari lo bilang suruh gue hati-hati loh.”
Ersa tergelak di seberang sana. “Gue serius soal itu, Lil.” Ucapan Ersa berubah jadi serius. “Lo jangan bermain api, Lil, kalau nggak mau terbakar. Hubungan lo sejauh mana dengannya?” lanjutnya membuatku berpikir.
“Gue nggak ada hubungan serius dengan Rafael, Sa. Meskipun gue sampai saat ini belum bisa mencintai Wishnu.” Aku memelankan nada suara.
“Kayaknya makin susah lo bisa mencintai Wishnu, apa lagi sekarang ada Rafael. Lo udah jalanin tips-tips gue, 'kan?”
Tips apaan? Nggak guna banget.
“Apa? Lo Cuma nyuruh gue buat baca novel picisan doang.”
“Ya lo harus belajar dari cerita itu.”
Aku berdecak. “Posisi Wishnu yang nggak selalu ada di dekat gue, susah.”
“Kalau gitu lo nikah aja sama Wishnu dan ikut dia ke Bogor.”
Aku mendesah, memang nikah segampang itu?
“Itu bukan hal yang sedang aku pikirkan.”
“Umur lo udah pas Lil, sebagai wanita kita udah bisa dikatakan matang. Mau nunggu apa lagi? Calon lo udah ada. Nggak kayak gue. Sedih banget sih gue.”
Aku tertawa. “Tapi gue belum siap, Sa. Apa lagi gue belum bisa jatuh cinta sama Wishnu.”
“Ya Allah kenapa juga itu si Wishnu nggak suka ama gue aja sih. Kalau dia cinta sama gue, gue pasti dengan cepat terima lamaran dia.” Lagi-lagi Ersa berkhayal.
“Semua memang salah gue. Seharusnya dari awal gue nggak kasih kesempatan Wishnu masuk ke kehidupan gue. Tapi, Tante Vira. Lo taulah gimana dia," ujarku seraya meneliti kuku tanganku yang mulai panjang.
“Iya sih. Ya wajar juga. Toh pilihan tante Vira itu memang bener berkualitas, Wishnu laki-laki baik.”
Aku mengangguk. “Iya gue tau, makanya gue juga nggak tega nyakitin dia. Tapi, kendala gue Cuma satu itu, gue belum bisa mencintai Wishnu sebagai pasangan, rasa sayang gue nggak bisa lebih jauh lagi. Beda sama apa yang gue rasain ke Rafael.”
Aku bisa mendengar Ersa di sana mendesah.
“Sekarang kasih tau gue, gimana cara gue biar bisa lepas dari Wishnu tanpa menyakiti siapa pun?” tanyaku.
“Lo nggak pernah bilang terus terang ke Tante Vira kalau sebenarnya lo nggak cinta sama Wishnu? Bahwa lo ngejalanin semua karena terpaksa?”
Cari mati itu namanya. Aku yakin Tante bakalan berang kalau aku jujur. Dia bakal ceramah tujuh hari tujuh malam tanpa jeda.
“Gue nggak berani. Tante Vira udah kaya ibu gue sendiri rasanya sulit membantah kemauannya.”
“Ya kalau gitu persiapkan diri lo aja buat nikah sama Wishnu.”
Aku mengembuskan napas. “Ersa, gue bingung.”
Aku mengakhiri panggilan Ersa pukul sepuluh malam. Membahas sesuatu yang bagiku tidak ada habisnya. Bayangan sosok Wishnu dan Rafael berkelebat silih berganti. Aku menghela napas lelah sebelum menarik selimut.
Aku baru saja mematikan lampu kamar saat sebuah notif pesan masuk.
Rafael
"Semoga malam ini tidurmu nyenyak."
***
Hari kedua Wishnu di Jakarta, bahkan saat berangkat ke kantor pun Wishnu mengantarku. Padahal aku sudah bilang lebih enak naik ojek biar cepat sampai. Tapi laki-laki itu bersikukuh. Dia beralasan ingin menghabiskan waktu cutinya untuk full menemaniku.
Rafael keluar dari ruangannya, dia menenteng tas kerja dan berjalan keluar tanpa menghiraukan aku yang sejak tadi menatapnya. Siang tadi, aku menolak untuk pulang bersama dengan alasan lembur. Aku tidak mungkin memberitahu alasan yang sebenarnya.
Aku sengaja meminta Wishnu untuk terlambat datang menjemput, agar dia tidak telalu lama menunggu. Aku akan berlama-lama sedikit di kantor memastikan Rafael sudah tidak berada di dalam gedung ini.
Konyolnya diriku. Entah untuk apa aku melakukan ini semua. Kucing-kucingan seperti ini, padahal Wishnu adalah pacarku, kekasihku sendiri.
Aku menghela napas saat keluar dari lift. Seperti yang Wishnu katakan di telepon. Dia sudah berada di lobi bawah.
“Maaf, menunggu lama,” kataku begitu sampai di depannya.
Wishnu tersenyum seraya berdiri. “Nggak apa-apa. Kita pulang sekarang?”
Aku mengangguk lantas berjalan mengikuti langkah Wishnu.
“Aku akan mengantarmu ke rumah lalu kita akan malam.”
“Ma-makan malam?”
Kenapa tiba-tiba pikiranku cemas mendengar kata makan malam yang meluncur dari mulut Wishnu? Perasaanku mendadak tidak enak.
“Iya, aku sudah reservasi tempatnya.”
Ada apa ini? Kalau tidak ada yang spesial, tidak mungkin Wishnu sampai mereservasi tempat.
Bagaimana kalau Wishnu tiba-tiba melamarku? Itu adalah pembicaraan yang paling aku hindari belakangan. Aku belum siap untuk semua itu.
Aku harap pikiranku salah. Semoga saja Wishnu hanya mengajakku makan malam biasa. Makan malam yang tidak terlalu berat karena membahas tentang pernikahan.
Bagi sebagian wanita momen seperti itu adalah momen yang dinanti-nanti. Namun, sangat berbeda jika laki-laki itu bukanlah orang yang kamu cintai.
YOU ARE READING
In Between 1 (END)
ChickLit°°FOLLOW AUTHORNYA DULU SEBELUM BACA YA GAES 😉 Bertemu dengan cinta masa lalu kadang terasa menyenangkan. Apalagi jika cinta itu sampai sekarang belum move on. Aku senang melihatnya kembali. Di sini dia begitu jelas terlihat. Bersamanya setiap wak...
PART 16
Start from the beginning
