REVISI (lagi)?

1.2K 120 5
                                    

"Sialan" pekik Bromo dengan membanting sebundel kertas hasil desainnya dengan keras di meja.

"kenapa lo?" tanya Vika dari balik layar komputernya.

"Naratama, siapa lagi? client sudah setuju, bahkan udah gue ganti beberapa element biar sesuai dengan permintaan mereka. Tiba tiba aja bos baru kita bilang, ulangi dari awal" Bromo merutuk dengan kesal.

"gue juga pagi ini, desain kursi buat dream design dari sepuluh tipe cuma disetujui dua, yang lain minta ganti, padahal kan pre-produksi tinggal sebulan lagi, mana ngomongnya nyolot pula" kali ini Sekar ikut berkomentar.

"Exactly, kayak bocah abis ditolak cewek" ucap bromo membenarkan ucapan Sekar .

Haura yang mendengarkan seketika terbatuk batuk. Untung saja mereka tidak menyadarinya.

"gue kemarin setor desain coffee table hampir semua disetujui, yang nggak disetujui juga cuma revisi dikit, dan dia baik banget kasih gue masukan, bahkan desain gue udah jadi sekarang karena dia. Ngomongnya juga enak kog" Anin ikut menyahut begitu mendengar obrolan seru teman temannya.

"Haura, menurut lo dia orangnya gimana?" tanya Bromo yang tiba tiba sudah berada di depannya.

Haura yang masih berpura-pura konsentrasi pada layar di hadapannya meskipun sedari tadi menguping kehebohan menoleh ke arah Bromo.

"mana gue tau?" jawab Haura sok santai.

"lo kan yang kemarin rapat bareng dia" Anin mengikuti Bromo berdiri di depannya.

"dia, biasa aja. kayak manusia normal pada umumnya"

"iya, manusia normal, ganteng, tajir pula. Tapi baru seminggu jadi bos kenapa udah kayak setan" Sekar berkomentar lagi dengan sebal.

"desain apartemen pesanan pengusaha Singapura lo udah maju ke dia?" Bromo tiba tiba penasaran.

"nanti siang gue ada rapat sama dia"

"oke. kalo Haura lolos, berarti dia manusia normal. Karena gue dan Sekat udah gagal, ini adalah pertama kali dalam karir gue di Breathing Room semua yang gue desain diperlakukan kayak sampah" ucap Bromo dan kembali ke meja kerjanya.

Sejujurnya Haura juga was was begitu mendengar cerita teman temannya yang ditolak desain mereka oleh Tama.

Dia telah membuat janji untuk membicarakan pesanan desain penting dari klien tetap breathing room di Singapura.

Jam sebelas siang, sesuai perjanjian dengan sekertaris Tama, Haura telah duduk di ruang tunggu menunggu sekertaris menginfokan kedatangannya. Pintu terbuka dan Haura dipersilahkan untuk masuk.

Ruangan itu didominasi dengan warna hitam, dan abu abu, tidak terlalu banyak perkakas di dalamnya, sebuah meja bundar dengan enam kursi yang siap digunakan untuk rapat terbatas, sofa set untuk menjamu para tamu dan meja kerjanya tepat di ujung ruangan. Haura berjalan lurus menuju meja kerja Tama dengan membawa komputer tablet dan beberapa lembar kertas dan tas kecil berisi peralatan tulis menulisnya.

Naratama begitu yang tertulis pada papan nama di atas meja Tama. Nama yang indah, pikir Haura begitu saja.

"kita tidak akan membahas desainmu disini" ucap Tama yang bangkit dari kursinya, menyambar jas hitam dari kepala kursinya dan berjalan keluar ruangan, diikuti Haura di belakangnya.

Mereka telah sampai di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor, suasana masih sepi, karena belum saatnya untuk makan siang.

"dua cappucino" ucap Tama begitu saja tanpa meminta persetujuan Haura.

Haura yang belum mengatakan sepatah katapun dari tadi hanya bisa menghela nafas.

"ini adalah, desain interior untuk apartemen pak cho" ucap Haura menyerahkan komputer tabletnya.

Tama melirik sekilas sembari menyesap kopinya.

"Bukankah ini terlalu umum?" Komentar tama setelah menggeser beberapa gambar.

"Ya mungkin memang terlihat umum, tapi untuk hunian pengantin baru dimana keduanya merupakan pekerja dengan kesibukan yang luar biasa akan sangat tepat" jawab Haura mulai menerangkan desainnya.

"Penggunaan lantai marmer berwarna hitam dan abu abu serta corak putih di sini akan membuat kesan minimalis dan mewah namun tetap menenangkan, marmer juga akan dipasang di beberapa bagian dinding, furniture bergaya industrial yang saat ini banyak digemari merupakan pesanan pak cho, dan ternyata terlihat sangat pas dengan lantai marmernya. Saya tidak memilih sofa dengan bahan kulit karena itu akan terlalu maskulin, justru tidak terlihat seperti hunian pasangan suami istri, meskipun sebenarnya akan sangat sempurna dengan konsep industrial. Saya memilih ini karena untuk menyeimbangkan feminisme dan maskulinitas agar dapat bersatu, sebuah hunian yang hangat, sehingga penghuni akan merasa nyaman untuk berada di dalam rumah meskipun setelah pulang bekerja baik untuk laki laki maupun perempuan, namun tetap nyaman meskipun mereka sebelumnya hidup sendiri sendiri. Saya dengar mereka menikah karena perjodohan, jadi desain ini saya buat agar mereka tidak terlalu terkejut jika telah tinggal bersama orang lain, desain yang membuat mereka berdua merasa memiliki privasi meskipun telah hidup bersama"

Haura menjelaskan dengan sangat detail, sementara tama terus membolak balik gambarnya dan telah menambahkan banyak sekali catatan disana dengan pensil tablet, hampir setiap gambar penuh dengan tulisan tulisan.

"Bisa kamu ganti model kaca ini? Sepertinya aku pernah melihatnya di google, tepat ketika memasukkan keyword kaca. aku tidak ingin yang seperti ini, terlalu kaku untuk ruang penyimpanan baju" komentar Tama mulai pedas.

"Baik" jawab Haura menurut.

"Sedikit kurangi ekspose dalam konsep industrial di sini, buat kamar tidur lebih hangat dan tetap simple, mungkin kamu bisa mengganti tempat tidurnya, gunakan bahan yang sama seperti sofa untuk alas kasur"

Haura mengangguk menyetujui ide Tama. Meskipun hampir seluruh desainnya ada koreksi sepertinya dia bukan seseorang yang buruk. Pikir Haura.

Kopi Tama sudah habis, sementara miliknya masih menyisakan setengah cangkir.

"Kau tahu, sesungguhnya desainmu tidak sesuai dengan standar nikken sekkei, aku ingin kamu mengulanginya dari awal, dan kamu tetap harus merevisi apa catatan yang tertulis di sana. Buat desain lagi, akan kita bandingkan keduanya, aku akan memberikan patokan untuk apa saja yang harus kamu kembangkan, kita coba bandingkan setelahnya"

Haura melongo mendengar apa yang baru saja dikatakan Tama. Dia benar benar gila dan tidak punya hati. Dua desain untuk satu klien.

Sialan! Maki Haura dalam hati.

Haura hanya mampu mengangguk angguk mendengar perkataan Tama.

"Sudah saatnya makan siang, kamu mau makan siang bersama?" Tanyanya pada Haura.

Apa?

Makan siang bersama? Setelah membuat dirinya pening dengan satu desain baru kemudian mengajaknya makan siang. Haura bahkan untuk menghabiskan kopinya saja rasanya sudah tidak mampu.

"Saya sudah memiliki janji makan siang dengan yang lain. Terima kasih" ucap haura dengan merapikan komputer tabletnya.

"Dengan pacarmu? Sudah berapa lama kalian bersama?" Tanyanya lagi, kali ini menghentikan kegiatan Haura.

"Lima tahun ini" jawab Haura singkat.

"Jadi itu tahun kedua bersama saat kita bertemu di Paris?"

"Ya saya sudah berpacaran dengannya, saya harus pergi. Permisi" jawab Haura tidak ingin berbicara lebih lama lagi.

"Haura, why you so cold to me?" Tanya Tama dengan nada sedikit frustasi yang tidak disadari Haura.

Haura terdiam, tidak mampu menjawab. Dia hanya berpamitan dan segera keluar meninggalkan Tama.

****

IN YOUR ATMOSPHEREWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu