"Ko bengong? Kamu tidak terbiasa bersih-bersih?"

Eh?

"Ruangan ini tapi sudah bersih Pak."

Rafael beranjak dari kursinya. Mendekati lemari arsip. Jari telunjuknya mencolek sisi rak. Lalu dia tunjukkan padaku.

"Kamu lihat? Masih ada debu. Saya alergi debu. Jadi, kamu harus membersihkannya sampai tak ada sebutir debu yang hinggap."

Konyol. Ini sih namanya dikerjain. Rafael merapikan dasinya, lalu dia kembali ke belakang meja membuka laptop.

"Cepat kerjakan sekarang," titahnya.

Aku bergegas keluar.

"Loh, kamu mau kemana?"

"Katanya harus membersihkan ruangan ini? Jadi saya ambil dulu perlengkapannya di pantry,Pak."

"Oh, oke. Tapi jangan lama-lama."

"Baik, Pak."

Mulutku ngedumel saat keluar dari ruangan kabag baru itu. Biar kuingat apakah dulu Rafael memiliki sifat semengesalkan ini? Atau dia hanya ingin menunjukkan bahwa di sini dia adalah pemimpinnya.

"Lo kenapa manyun gitu Li?" tanya Farhan. Dia sedang berdiri di samping mesin fotokopi saat aku melewatinya begitu saja menuju pantry.

"Kepo!"

Dia tergelak. Senang banget melihatku sengsara sepertinya. Dasar teman tidak berperikemanusiaan.

Aku kembali ke ruangan Rafael lengkap dengan peralatan bersih-bersih. Tidak peduli tatapan teman-teman kantor lain. Aku yakin mereka sedang puas menertawaiku.

Aku mulai dengan menyapu lantai. Lalu dilanjut mengelap lemari, sofa dan benda yang ada. Gila, baru pertama kalinya aku nginem di kantor sendiri. Terakhir aku mengepel mengepel lantai. Aku sudah mirip Mbok Marimar di rumah. Dan si Rafael, dia nampak tidak peduli dengan wajah lelahku. Rasanya ingin sekali aku lempar kain pel ini ke mukanya.

Aku mengusap peluh saat pekerjaanku selesai. Rafael masih saja sok sibuk di depan laptop. Dengan muka datar nampak tidak peduli dengan penderitaanku.

"Saya sudah selesai,Pak."

Rafael mendongak lalu matanya memindai setiap sudut wilayahnya ini. Sesekali kepalanya mengangguk. Dia beranjak dari tempatnya, lalu jari telunjuknya mencolek meja kecil di depan sofa.

"Oke, pekerjaanmu bagus. Sepertinya kamu memang berbakat."

Apa?

"Boleh saya keluar sekarang,Pak?"

Rafael mengangguk.

Sumpah, aku seperti orang yang tidak memiliki kerjaan lain saja. Padahal pekerjaanku sendiri masih banyak.

"Eh, tunggu!"

Aku terkejut saat tiba-tiba saja Rafael menyentak tanganku, membuat langkahku tersendat dan lantai yang licin berhasil membuat kakiku terpeleset. Jika bukan karena lengan kokoh itu menangkap tubuhku dengan cepat, mungkin saja bokongku sukses menghantam lantai. Beberapa saat tatapan kami bertemu. Tangan kanan Rafael terselip erat di pinggangku dan tangan kirinya menggenggam pergelangan tanganku. Kenapa aku deg-degan ya? Deg-degan karena terkejut. Pasti itu. Iyakan? Gak ada alasan lain.

Aku segera bangkit berdiri. Ini sangat tidak baik untuk kesehatan jantungku.

"Kamu nggak pa-pa kan?" Rafael mengerjap. Dan aku lihat telinganya memerah.

"Ah ya, saya tidak apa-apa, Pak. Itu tadi ...."

Ah! Kenapa suasananya jadi canggung seperti ini?

"Tuh, peralatan kamu ketinggalan." Rafael berujar dan kembali tidak peduli. Dia lantas berbalik duduk di depan meja kerjanya. Aku pikir dia mau membicarakan apa sampai aku hampir saja jatuh terpeleset. Sekali babu tetap babu.

Tanpa pikir panjang lagi kupungut semua peralatan bersih-bersih dan beranjak meninggalkan ruangan Rafael. Ternyata harapan dia mengingatku sia-sia. Ingatannya pasti sangat buruk.

Saat aku kembali ke kubikel, di atas meja ada sebuah paper bag berlogo restoran siap saji. Ku intip isinya dan aku menemukan segelas plastik tinggi milkshake dan burger. Kepalaku celingukkan. Siapa gerangan yang sudah mengirim ini untukku? Tapi aku yakin siapa pun itu, dia adalah orang berhati malaikat. Karena tahu kondisiku yang sedang kelelahan, kelaparan, dan kehausan.

Via yang baru datang, entah dari mana berceletuk. "Pesen makanan sendirian doang."

"Sueer deh, gue nggak ada pesen. Tiba-tiba saja makanan ini ada di meja."

"Ya jelas lah. Tadi OB yang antar. Katanya pesenan lo."

"Jadi siapa dong yang pesenin ini buat gue?"

"Mana gue tau."

"Siapa pun itu yang jelas gue sangat berterima kasih." Aku tersenyum lebar lalu menyeruput milkshake dingin yang terasa sangat menyejukkan tenggorokan.

"Lo habis mbabu di ruangan Pak Rafael?"

"Iya, sial banget gue. Seumur-umur kerja bareng Randy, gue nggak pernah disuruh mbabu di ruangannya biar pun gue telat."

Via ngakak, senang sekali lihat temannya sengsara.

"Makanya jangan suka korupsi waktu. Masih mending gaji lo nggak dipotong."

"Iya ih, dia tau banget kelemahan kita."

"Untung dia ganteng ya."

Pikiranku menerawang. Rafael memang sudah dari dulu ganteng. Kalau tidak, mana mungkin banyak fans-nya dulu itu. Termasuk aku. Dan sialnya sindrom itu, rasanya muncul lagi bersamaan dengan kedatangannya di sini.

Aku menggeleng keras. Meyakinkan hati bahwa aku tidak boleh berpaling dari Wishnu. Rafael mungkin saja juga sudah punya kekasihkan? Pasti yang jadi kekasihnya itu sangat cantik. Aku harus bersyukur karena ada Wishnu yang mau menerimaku apa adanya.

In Between 1 (END)Where stories live. Discover now