26. Truth untold

3.8K 921 224
                                    

Writer side

Pukul 7 pagi akhirnya tiba dengan kondisi rumah Grace yang tetap sunyi. Mereka yang menghuni masih tenggelam dalam mimpi, terbawa ketenangan yang menyelimuti pagi mendung ini.

Hal berbeda terjadi pada Lee Haechan yang terbangun lantaran Zhong Chenle yang secara tidak sadar mendaratkan tangannya cukup keras pada punggung Haechan. Haechan melenguh akibat terganggu dan memilih untuk bangkit. Ia merasakan tenggorokannya seperti kering, membutuhkah asupan air mineral.

Lelaki bermarga Lee itu kemudian berjalan keluar dari kamar dan mendadak menutupi kedua matanya saat melihat seberkas cahaya dari pintu utama rumah Grace. Haechan mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menetralkan cahaya yang menyerang.

Haechan lalu menurunkan tangan yang tadi menutupi kedua matanya, lantas terbelalak dengan kehadiran seorang gadis kecil dengan kedua tangan yang tengah membawa sebuah kotak makanan. Dengan segera Haechan melalui gadis kecil itu untuk menutup pintu rumah kemudian menghampirinya. Gadis kecil yang tidak lain dan tidak bukan adalah adiknya sendiri.

"Junga, sedang apa kau disini?"

Adiknya —Lee Haejung diam tak berkutik mendapati kakaknya yang selama ini dinyatakan menghilang kini sudah berada tepat didepan matanya. Haejung seolah mematung, sedikit tidak percaya akan hal ini. "Apa kau adalah kakakku?"

Haechan merasakan sekujur tubuhnya seperti disengat listrik berkekuatan tinggi. Sudah sejak lama ia tidak menyentuh adiknya, tidak berbicara bersamanya bahkan untuk menatap satu sama lain.

"Ya."

"..."

"Junga, ini kakak."

Mulut Haejung kecil menjadi terbuka lebar, tentu tidak percaya dengan ucapan lelaki yang merupakan kakak kandungnya sendiri.

Tiba-tiba,

"Haechan." Panggil seseorang membuatnya sontak terdiam. "Junga apa maksudmu?" Kata Grace sebagai orang yang baru saja datang, sudah sedaritadinya membisu dianak tangga terbawah. "Kenapa kau bisa memanggilnya Junga?"

Tiba-tiba Haejung berlari kearah Grace dan meletakkan kotak makanannya dilantai, berusaha bersembunyi dibalik diri Grace. "Kakak, apa dia adalah hantu?"

Seorang Grace tidak begitu mengindahkan pertanyaan Haejung dan masih menatap Haechan cukup dalam. "Aku tidak yakin jika Injun yang memberitahukannya padamu. Hanya kau, aku, juga keluargamu yang sering mengucapkannya."

Haechan memutuskan bangkit sambil menunduk, masih memejamkan matanya karena ragu untuk menjawab pertanyaan gadis itu.

"Katakan yang sebenarnya, Chan."

"Grassie, sebenarnya—" Haechan mengepalkan kedua tangan, berusaha mengeluarkan fakta yang cepat atau lambat memang harus diungkapkan.











—Maaf, sebagian naskah telah dihapus untuk kepentingan penerbitan—











Grace side

"Grassie—" ucapan Renjun terhalang oleh jeda. Jeno pun melenggang kehadapanku yang tengah terduduk. Selagi berjongkok, ia meraih tanganku dan berkata, "maaf jika kami membohongimu."

Aku diam.

"Kau tahu jika kami tidak akan melakukannya kalau itu tidak ada alasan sama sekali." Jeno semakin mengeratkan genggamannya.

Zhong Chenle ikut menghampiriku lalu meletakkan tangannya diatas dahiku. "Beruntung kau tidak lagi pingsan. Aku rasa kau tidak beristirahat dengan baik, ayo kita minum segelas air putih."

"Tidak, Chenle."

"Grassie, kumohon. Aku takut tiba-tiba saja kau kembali pingsan."

Kuhela nafas berat dan bangkit, perlahan melepaskan tangan Jeno kemudian melewatinya. Aku merasa sedikit pening, meski suasana disekitarku sangat tenang. Mungkin aku bisa mengerti dengan alasan mereka memilih untuk berpura-pura melupakan segalanya, namun aku masih merasa tidak nyaman karena telah dibohongi.

Mungkin aku egois. Tapi percayalah, itu sedikit menggangguku.

Chenle memegangi kedua pundakku seraya kami berjalan memasuki dapur. Ditengah-tengah dirinya meraih sebuah gelas, Chenle mengatakan sesuatu. "Maafkan kami, Grassie."

"Tidak. Aku hanya— tidak menyangka itu."


Sreeet!


Aku dan Chenle serempak menatap jendela dapur dengan sedikit terkejut. Ada sebuah suara dari luar, yang membuat kami heran juga cemas sekaligus. Jendela dapur menghubungkan langsung dengan lorong yang memisahkan rumahku dan rumah tetangga. Dan, aku rasa lorong itu jarang bahkan tidak pernah dilalui oleh siapa-siapa.


Kraak!


Dengan cepat Chenle meraihku, lalu membawaku kebawah wastafel. Ia menutup mulutku dan berbisik, "jangan sampai bersuara."

Aku mengangguk ringan, menemukan bayangan dari pantulan kaca lemari yang berhadapan langsung dengan jendela dapur. Kugenggam pergelangan tangan Chenle, takut jika saja bayangan seseorang itu memutuskan untuk masuk kedalam sini.

Chenle mengeluarkan ponselnya, kemudian dengan gesit mengirimkan pesan kepada lima orang lainnya yang berada diruang tengah. Orang itu masih sama, terdiam dijendela dan mangamati seisi dapur.

"Chenle—"

"Ssst."

Secara bersamaan ponselku bergetar. Begitu kulihat layarnya, disana ada nomor tidak dikenal yang berusaha menghubungiku. Kukecilkan volume ponsel milikku sebelum menjawab teleponnya, lalu menempelkan ponsel pada telinga kanan.

"Grace."

"..."

"Ini aku."


Get ready for tomorrow

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now