15. 23 Maret

4.2K 972 142
                                    

Tidak yang seperti Renjun beritahukan padaku untuk tidur nyenyak, aku selalu terbangun dipukul 4 dini hari sejak kejadian dua hari yang lalu. Seperti ada yang menghambar ketenangan diriku, yang aku sendiri tidak bisa menghentikannya.

Aku tidak pernah keluar rumah, bahkan bertukar pesan pada keenam sahabatku yang ada di Le Reve. Hanya ibu, dan sepupuku yang selalu menemani.

Jika boleh jujur, aku merasa ada yang aneh dengan Liu Yangyang akhir-akhir ini. Sikap dan cara bicaranya membuatku bisa mengatakan kalau Yangyang semakin berbeda tiap harinya. Tetapi, itu sedikit tidak mungkin. Karena aku tidak mungkin menaruh curiga pada orang baik dan selalu peduli sepertinya. Mungkin hanya perasaanku saja, bukan?

Aku bangkit dari tidur dan memeluk kaki setelah menggeser kain biru langit yang menggantung menutup jendela. Aku menghela nafas, bertanya-tanya akan cerita rumit ini yang masih berlanjut entah sampai kapan. Kupikir, hingga mana masalah ini akan terus berjalan? Sampai kapan aku harus menemui sahabatku secara diam-diam? Sampai kapan aku harus gelisah dipenghujung hari? Sampai kapan, rasa curiga ini akan berakhir?

Ponselku tiba-tiba berbunyi, menandakan sebuah pesan singkat telah masuk.

1 pesan dari Injun

Aku tersenyum melihat satu kontak yang tidak pernah kuhilangkan dari ponsel, yang akhirnya kembali mengirimkan sesuatu.

Apa kau masih tidur?

Untuk : Injun
Tidak, aku baru saja bangun.

Dari : Injun
Ah, oke.
Aku tahu jika ternyata aku yang mengganggumu.

Untuk : Injun
Tidak. Aku terbangun sebelum menerima pesanmu.
Ada apa?

Dari : Injun
Apa kau bisa keluar, sekarang?

Untuk : Injun
Uuum...

Dari : Injun
Ingin mengajakmu kesebuah tempat^^

Hahaha, aku tidak begitu heran kenapa lelaki itu mengajakku pergi diwaktu seperti ini. Tetapi, bukannya ia sudah memberitahuku agar tidak keluar rumah? Entahlah, aku pun hanya ingin mengikuti ajakan Renjun. Maka dari itu, aku dengan senang menyutujuinya.

Ini sudah cukup pagi, jadi kupikir tidak akan begitu mencurigakan. Aku berjalan untuk mengganti pakaian dan setelahnya, aku melangkah terlalu pelan untuk keluar dari rumah, sesekali mengecek ponsel agar mengetahui keberadaan Huang Renjun.

"Hm."

Seseorang berdehim tepat beberapa langkah setelah aku kembali menutup pagar rumah. Aku memincingkan mata, dan menemukan seorang Huang Renjun tersenyum tipis selagi menungguku menuju kearahnya. Ia juga terlihat membawa sebuah paperbag.

"Kau tidak mengantuk, kan?" Tanya Renjun.

"Tentu."

Lelaki itu mengulurkan tangannya agar bisa kugapai. "Ayo, berjalan bersama."

Kusambut telapak tangan Renjun yang menghangat setelah beberapa saat berada didalam saku hoodie kebesaran miliknya. Kami pun berjalan sejajar, mengetukkan kaki diatas permukaan jalanan. "Mana yang lainnya?"

"Masih digedung, ingin berjaga katanya."

Mulutku membentuk huruf O setelah Renjun menjawab. Sesekali Renjun menanyakan hal-hal ringan padaku selagi berada diperjalanan. Aku belum tahu ia akan membawaku kemana, tetapi aku hanya ingin terus mengikutinya. Rasanya, selagi Renjun dan yang lainnya ada, selagi mereka memintaku untuk menemani, aku akan terus merasa aman dan ada untuk mereka.

"Injun."

"Iya?"

"Apa masih jauh?"

"Kau sudah lelah?"

"Mmm, sedikit."

Renjun tertawa. "Sedikit lagi. Ah, itu disana." Katanya dengan menunjuk sebuah kafe kecil dipenghujung jalan. "Bagus, bukan? Mereka sudah buka sepagi ini. Mungkin tempatnya terbilang kecil, tetapi desainnya cantik dan tenang. Seperti kesukaanmu."

"Benarkah? Bagaimana kau bisa tahu?"

"Haechan yang menemukannya. Waktu itu dia dan Jisung bertugas berbelanja disupermarket. Kau tahu? Karena mereka bosan dengan rute biasanya, mereka malah berjalan-jalan untuk sekadar mengetahui hal-hal baru."

"Serius? Tetapi, kenapa kau hanya mengajakku?"

"Apa kau lupa sesuatu?"

Aku mengernyitkan dahi. Apa— aku telah melewatkan kejadian penting?

"Ya sudah, anggap saja kau lupa. Ayo."

Renjun kembali menarikku lembut untuk masuk kedalam dan memilih tempat tersudut dengan dirinya yang membelakangi pintu masuk. Renjun memesan dua vanilla latte untuk kami berdua, serta menunggu pelayan membawakannya pada kami.

Diluar sana masih sangat sepi, maklum dengan waktu dipagi buta seperti ini.

Sama dengan yang kukatakan sebelumnya, aku paham, kenapa Renjun membawaku diwaktu sangat pagi ini. Dia bak selebriti yang harus bersembunyi karena bisa saja ada yang mengenalinya kalau berani berjalan di bawah sinar matahari. Mengingat kata Haechan waktu itu, wajah mereka pernah tersebar dimana-mana dan menggemparkan tempat tinggalku juga sekitarnya. Jadi ada kemungkinan orang-orang masih mengingat mereka dengan jelas.

"Ummm—" Renjun terlihat gelisah sembari mengetuk-ngetukkan tangannya pada meja tempat kami. "Apa harus kuberikan sekarang?"

"Apa itu?"

Renjun membuka paperbag tadi dan mengeluarkan sesuatu. Lelaki ini menunjukkan sebuah lukisan indah yang membuatku terkagum.

"Selamat ulang tahun dan selamat memasuki tahun ke-15 kita bertemu, Grassie

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

"Selamat ulang tahun dan selamat memasuki tahun ke-15 kita bertemu, Grassie."

"Injun, astaga— kau masih ingat!"

"Tentu, ulang tahun kita bertepatan, bukan? Dan kau sendiri lupa dengan itu?"

"Ya, kau—"

"Oh, kau akan menangis lagi?"

Aku menutup mata dengan satu tangan. "Tidak." Bodoh, suaramu bergetar, Grace. "Ini namanya terharu."

Renjun tertawa dan meraih satu tanganku lalu mengguncangnya pelan. "Hey, ini hanya hadiah kecil. Kau jangan menangis. Sampai kapan kau menangis seperti ini dihadapanku?"

Perkataannya semakin membuatku tersentuh. Jun, aku juga tidak tahu kenapa aku bisa sesensitif ini.

Apalagi jika kuingat hari dimana Injun kecil dengan polosnya menghampiriku, menghampiri seorang Grace kecil yang sedang menangis dihari ulang tahunnya sendiri.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Donde viven las historias. Descúbrelo ahora