01. Dia muncul

16.5K 2.1K 190
                                    

Maaf jika terdapat typo(s) atau segala kekurangannya. Tolong jadi pembaca yang baik dengan meninggalkan dukungan berupa vote(s) dan komentar (baik berupa masukan atau kesan), ty!















Aku mengerjapkan mata perlahan, berusaha untuk menyadarkan diri dari posisi yang membuatku merasa kesakitan. Sayup-sayup kudengar jam dinding tengah berdenting, mengisi kekosongan ruang yang tengah kuhuni. Aku menegapkan badan dari posisiku yang semula —yaitu tidur dengan membungkuk keatas permukaan meja. Sesekali kutepuk bahuku karena bukannya merasa segar setelah tidur, aku justru merasa lelah.

Kini kualihkan pandanganku pada jalanan luar. Sudah sore rupanya. Bahkan salju telah kembali turun untuk menyelimuti kawasan tempat tinggalku.

Aku menghela napas, menoleh pada sebuah bingkai yang berisikan tujuh remaja sedang tersenyum senang —termasuk diriku. Ini sudah lebih dari dua tahun aku menunggu kepastian yang tepat dari orang-orang yang menemaniku berfoto didalam sana.

Aku masih menunggu mereka, keenam sahabat baikku.

Ting!

Lonceng rumahku berdenting tatkala seseorang membuka pintu. Aku spontan melihatnya dan mendapati ibu yang baru saja pulang bersama raut wajah yang sedih.

"Itu memang benar." Ujarnya membuatku berusaha untuk tidak percaya. "Ibu Park Jisung bunuh diri."

Sontak bahuku terjatuh mendengar penuturannya. Tidak, itu tidak mungkin. Selama ini, beliau yang juga selalu menguatkanku agar yakin jika mereka akan kembali. Namun kenapa, dia yang harus lebih dulu pergi?

Aku melihat ibu menangis dan berjalan masuk kedalam kamarnya. Entah apa yang benar-benar dirasakan ibu setelah kehilangan teman baiknya sedari awal menetap di lingkungan ini.

Itu sakit. Sangat sakit.

Meski aku mungkin hanya sahabat mereka, tetapi aku bisa bersumpah demi apapun jika aku akan selalu merasa tidak rela dengan hal yang terjadi. Apalagi menjadi orangtua dari mereka, sangat tidak rela.

Kepolisian memutuskan untuk menutup kasus ini lantaran tidak ada jejak yang pasti, yang bisa mengarahkan kami untuk menemukan semua sahabatku. Ini semua seperti mimpi, seperti hal tidak nyata atas hilangnya mereka dua tahun yang lalu.

Akhirnya kuputuskan untuk keluar dari rumah dan berjalan menuju rumah keluarga Park yang kini sudah terlihat dipasangi garis polisi. Aku kalut, aku emosi, aku sangat menyesal atas kepergian Ibu Park. Setelah Jisung yang menghilang, dua bulan sebelum kasus ditutup, suami Ibu Park meninggal dunia akibat penyakit kronis.

Aku marah, aku rasa ini tidak adil. Aku iba dengan hal yang menimpa keluarga Park, aku sangat sedih. Aku tidak akan lelah mengulang untuk mengatakannya. Ini seperti menusuk jantungku begitu dalam.

Rumah yang dulunya menjadi tempat kami berkumpul kini hanya diterangi oleh cahaya yang minim. Rumah yang dulunya penuh dengan rerumputan hijau dan suburnya tanaman, kini tinggallah sebuah rumah yang gersang dengan warnanya kian memudar.

Semuanya berubah. Semuanya terjadi setelah kejadian dua tahun silam.

Jisung, kemana dirimu? Kemana kau dan yang lainnya? Apa benar kalian juga telah tiada? Apa benar jika kalian sudah tidak bersama kami lagi?

Kurasakan air mataku menetes dengan sendirinya. Ini benar-benar membunuhku secara perlahan. Aku merindukan mereka, aku masih berharap mereka ada. Aku masih percaya meski faktanya hanya kosong.

Tanganku lalu terdorong untuk mengusap air mata, kemudian kuputuskan berbalik meninggalkan tempat ini. Sempat diriku memperhatikan ujung sepatu yang kukenakan, sekadar untuk mengontrol rasa sedihku.

Baiklah, Grace.

Kembali kerumah dan tumpahkan tangisanmu disana. Ini adalah tempat umum yang hanya akan mengundang tatapan aneh orang-orang jika mereka menyaksikan kesedihan mendalammu.

Diriku mengangguk, berusaha meyakinkan jiwaku. Aku pun mendongak, kemudian mendapati ujung jalan yang hanya berjarak beberapa meter dari kediaman Park.

Tunggu.

Aku memincingkan mata seolah memaksa penglihatanku agar memperjelas apa yang baru saja kusaksikan. Itu bukanlah Bongshik dan Seol yang kabur dari rumahnya —seperti kemarin. Bukan juga Nenek Zhong yang sedang menunggu bantuan untuk menyeberangi jalan. Tapi itu,

"Park Jisung?"

Mataku terus menatapnya, berusaha membenarkan jika apa yang kutemukan adalah nyata. Tapi itu memang dia! Lelaki dengan wajah bayi ayam —julukan untuknya itu tengah menatap rumah Park dengan pandangan sendu. Ia mengenakan coat tebal dengan kedua tangan yang dimasukkan kedalam sakunya. Tubuhnya lumaya berbeda, tampak lebih tinggi dibanding dua tahun yang lalu.

"Jisungie—" lirihku dengan kaki yang melangkah dengan sendirinya. "Kau—"

Kulihat dirinya terkejut setelah menyadari jika aku telah melihatnya. Jisung tiba-tiba melangkah mundur, tepat saat diriku mulai mendekatinya.

"Park Jisung!"

Teriakanku membuatnya mendadak berbalik dan segera pergi. Namun aku tidak diam begitu saja. Aku berusaha mengejarnya sekuat tenaga meski langkahnya lebih cepat. Sangat cepat.

"Jisung!"

Dia semakin menjauh, jauh dan jauh.

Dan aku tidak menyerah.

"Ji—"


Pip pip!


Bruk!


Tiba-tiba kurasakan diriku dihantam oleh sesuatu yang keras. Aku terjatuh begitu saja setelah sempat berguling beberapa langkah. Kepalaku terasa pening hebat, sekujur tubuhku terasa sakit lebih daripada tadi.

Samar-samar, kulihat Jisung akhirnya berhenti diujung jalan yang terbilang jauh dari diriku yang sedang tergeletak. Aku berharap ia melihatku. Aku berharap ia akan terkejut dan khawatir. Aku berharap ia segera menolongku.

Namun, sebelum tahu apa yang selanjutnya terjadi, mataku perlahan terpejam. Semuanya semakin gelap. Hingga akhirnya, aku benar-benar tidak merasakan apa-apa.

"Jisung . . ."


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now