07. Mereka bersamaku, lagi

6K 1.2K 113
                                    

"Tidak bisa. Kami telah berjanji akan tetap bersama seperti ini hingga kami bisa menguak semuanya. Kita tidak bisa membiarkan orang jahat itu berkeliaran. Lagipula kami sudah berada disini. Meskipun mereka melupakannya, namun dari dalam hati mereka yakin jika ini merupakan keputusan yang tepat."

"Injun—"

"Ini semua untukmu, percayakan semuanya pada kami." Lelaki itu mengukir senyuman diwajahnya. Senyuman itu, senyuman yang akhirnya bisa kembali kulihat, setelah sekian lama aku berada didalam zona melelahkan ini.

Selang beberapa detik berlalu, seseorang menghampiri kami, dan ia adalah Na Jeno. Jeno yang membawa secangkir cokelat hangat yang entah ia dapatkan darimana. Setelah berada tepat disamping Renjun, Jeno menyodorkanku minuman itu seraya berkata, "kau perlu ini."

Dengan sedikit ragu, kuraih minuman itu. "Kau membuatnya?"

Jeno menggeleng. "Buatan saudaraku."

Kulipat kedua bibir sambil menatap cokelat hangat yang sudah berada digenggamanku. Nana, ternyata kau masih gemar membuat cokelat hangat. Apa kau pun masih membenci stroberi hingga detik ini?

Jeno berdehim ringan, berhasil membuyarkan lamunanku.

"Dimana kalian tinggal?" Tanyaku.

"Disini."

Dahiku mengerut. "Disini?" Kemudian menyesap cokelat hangat tadi.

"Kau tentu ingat tentang gedung ini, kan?" Ujar Renjun. "Pemiliknya benar-benar membuat tempat ini terbengkalai dan tidak tersentuh apapun, siapapun, selain kami. Hanya ini tempat satu-satunya yang kami punya. Dan kau tidak perlu khawatir soal apapun. Karena kami akan berusaha menghadapinya."

Ah, mereka benar-benar berjuang selama dua tahun ditempat yang 180 derajat berbeda dengan kehidupan mereka yang layak sebelumnya. Diriku terpikirkan akan bagaimana mereka bisa memanfaatkan semuanya untuk bertahan hingga sekarang.

Secara mendadak ponselku bergetar. Oh tidak, sudah berapa lama aku ada disini? Dugaanku juga benar, nama ibu tertera dilayar ponsel. Sebelum menggeser tombol hijau, kupandangi waktu yang tertera diatasnya. Huh? Ternyata sudah sejam lebih berlalu. Bisa kuprediksi jika beliau akan sangat khawatir.

"Grace." Katanya setelah aku menjawab telepon. "Kenapa kau lama sekali?"

"Ibu—" aku memutar otak untuk mencari jawaban yang tepat dan tidak mencurigakan. Renjun serta Jeno menggiti bibir bawahnya secara bersamaan, membuatku ikut gugup. "Maaf. Seledri diminimarket telah habis. Jadi aku harus menaiki bus dan pergi menuju minimarket yang lebih jauh."

"Ah, syukurlah. Aku kira ada sesuatu buruk terjadi padamu. Yangyang akan tiba dalam beberapa menit lagi, namun kau tidak usah terburu-buru. Berhati-hatilah."

"Baik, bu. Aku tutup teleponnya."

Tuuut—

Renjun bernafas lega saat sambunganku dengan ibu telah usai. Aku tersenyum tipis, kembali dengan beberapa kali menyesap minuman sebelum bangkit. "Aku rasa aku harus pergi sekarang, terimakasih untuk cokelatnya."

"Maaf." Kata Jeno. "Kami tidak bisa mengantarmu— Grassie. Aku harap kau bisa mengerti dengan maksud kami."

Renjun menambahkan, "kami tidak dapat berkeliaran begitu saja dengan bebas. Tapi aku janji, kami akan segera kembali padamu."

"Ya, Jeno. Grassie adalah namaku dari kalian. Dan juga, kalian tidak perlu khawatir, aku bisa melakukannya sendiri."

Renjun kembali memelukku sebelum pergi. "Aku sangat senang, setelah sekian lama."

Aku tersenyum, membalas pelukannya dengan erat sambil menghela nafas. Entah ini adalah akhir, atau merupakan awal dari segalanya.

Sebelum pergi dari sini, aku tak lupa berpamitan kepada mereka yang lain. Haechan, Jaemin, Chenle dan Jisung, yang melihatku pergi meski beberapa dari mereka tidak membalas pamitku. Kumengerti itu, karena mereka masih tidak mengenalku dengan baik.

Disaat mencapai pintu utama gedung, aku melihat keadaan diluar terlebih dulu agar orang-orang tidak curiga karena diriku yang keluar dari sini sendirian. Tiba-tiba kakiku tidak sengaja menyentuh sesuatu, dan saat aku menoleh, ternyata itu adalah Seol.

"Meow."

"Terimakasih, Seol. Kau membuatku menemukan mereka."

"Meow." Dan ia kembali berlenggang lebih dulu, mendahului langkahku.

Aku melihat Seol berbelok kearah kiri disaat aku seharusnya mengarah kekanan. Mungkin ia tidak berniat menemaniku ke minimarket. Tidak apa, dia harus segera pulang sebelum Bongshik mencarinya.

Begitu sebentar lagi aku akan menyeberang, suara klakson mobil terdengar menginstrupsi pendengaranku. Aku melihat sumbernya, dan mobil itu seperti tak asing bagiku. Setelah menepi, si pengemudi menurunkan kaca mobilnya, membuatku mengetahui siapa dirinya.

"Um, hai Grace." Sapanya.

"Hai, Mark." Balasku dengan tersenyum.

"Kau mau kemana?"

Kuarahkan telunjuk menuju supermarket yang berada diseberang jalan. Mark mengangguk, pun melanjutkan, "aku akan menunggumu. Setelah itu, kita akan kerumahmu bersama-sama."

Ah, ya. Kata ibu, dia akan mengundang Mark juga. Aku menggeleng dan menolak dengan pelan, "tidak perlu, Mark. Lebih baik kau kerumahku lebih dahulu. Tidak enak jika kau menunggu disini."

"Take it easy."

"Hm, baiklah."

Mark tersenyum tipis dan nyatanya tidak hanya menunggu, namun lelaki itu bahkan menemaniku menyeberang kemudian masuk kedalam supermarket.


To be continue

[I] THE DREAM ✓Where stories live. Discover now